Ketiga: konversi lahan untuk kepentingan komersial, alih fungsi lahan adat menjadi kawasan komersial, seperti perkebunan sawit, tambang, atau kawasan wisata, menjadi tantangan besar. Konversi ini sering dilakukan tanpa persetujuan masyarakat adat, meskipun ada kewajiban pengakuan hak ulayat. Hilangnya tanah adat tidak hanya merugikan masyarakat secara ekonomi, tetapi juga menghancurkan budaya dan tradisi yang terkait dengan tanah tersebut. Keempat: lemahnya pengakuan hukum terhadap hak ulayat, meski ada pengakuan hukum, implementasi di lapangan seringkali tidak konsisten. Banyak masyarakat adat yang kesulitan mendapatkan pengakuan formal atas tanah ulayat mereka. Proses pengakuan tanah ulayat yang berberlit-belit membuat masyarakat adat rentan kehilangan hak mereka akibat klaim pihak ketiga. Ketidakjelasan status hukum tanah adat memperburuk konflik antara masyarakat adat, pemerintah, dan korporasi. Kelima: perubahan iklim dan degradasi lingkungan, eksploitasi besar-besaran lahan adat menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti deforestasi dan polusi, yang menganggu ekosistem dan mata pencaharian masyarakat adat. Degradasi lingkungan akibat kegiatan komersial mengancam ketahanan pangan dan sumber daya alam masyarakat adat. Hilangnya keanekaragaman hayati dan kerentanan terhadap bencana alam.
Reforma agraria merupakan kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mengatasi ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan tanah dengan cara redistribusi tanah, legalisasi aset, dan penataan penggunaan tanah. Dalam konteks masyarakat adat, reforma agraria juga bertujuan untuk melindungi hak-hak atas tanah adat melalui pengakuan, penguatan, dan perlindungan hukum terhadap tanah ulayat.
Konsep Reforma Agraria di Indonesia
Reforma agraria adalah proses penataan ulang struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang dilakukan oleh negara untuk menciptakan keadilan sosial, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan menjamin keberlanjutan lingkungan. Reforma agraria mencakup redistribusi tanah kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan, termasuk petani kecil, buruh tani, dan masyarakat adat.
Tujuan Reforma Agraria dalam konteks keadilan sosial:
1.Mengurangi ketimpangan penguasaan tanah
2.Memenuhi hak atas tanah bagi kelompok rentan
3.Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
4.Menyelesaikan konflik agraria
5.Melestarikan lingkungan dan mendukung pembangunan berkelanjutan
Reforma agraria di Indonesia memiliki berbagai landasan hukum yang mengatur pengelolaan, redistribusi, dan perlindungan hak atas tanah untuk menciptakan keadilan sosial. Landasan hukum ini memberikan kerangka dasar bagi negara untuk menjalankan reforma agraria secara adil dan berkelanjutan. Pertama, landasan utama reforma agraria tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), khususnya Pasal 33 Ayat (3). Pasal ini menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini menegaskan bahwa tanah sebagai sumber daya alam harus dimanfaatkan demi kesejahteraan seluruh masyarakat, termasuk melalui pelaksanaan reforma agraria. Landasan hukum utama lainnya adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. UUPA menekankan bahwa negara memiliki kewenangan untuk mengatur hubungan antara orang dan tanah dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat. Pasal 6 UUPA menyatakan bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial, sementara Pasal 10 melarang penguasaan tanah secara berlebihan yang dapat merugikan masyarakat lain. Hal ini mencerminkan upaya untuk mengurangi ketimpangan penguasaan tanah. Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria menjadi panduan operasional pelaksanaan reforma agraria. Peraturan ini mengatur redistribusi tanah dan legaliasi aset untuk mengurangi ketimpangan serta menetapkan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Perpres ini juga mendorong kolaborasi antara pemerintah daerah dan masyarakat adat dalam proses reforma agraria.