Dalam konteks hak masyarakat adat, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memberikan perlindungan atas tanah ulayat. Pasal 67 UU ini mengakui hak masyarakat hukum adat atas kawasan hutan yang memenuhi persyaratan tertentu, sehingga mencegah marginalisasi masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Reforma agraria juga didukung oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum. UU ini menekankan perlunya perlindungan hak masyarakat yang terdampak pengadaan tanah, termasuk masyarakat adat. Selanjutnya, Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 10 Tahun 2016 memberikan panduan untuk mengakui dan melindungi hak komunal masyarakat adat atas tanah mereka. Penegasan lebih lanjut mengenai hak masyarakat adat juga tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara, melainkan wilayah yang diakui sebagai hak masyarakat adat. Hal ini memperkuat posisi masyarakat adat dalam mempertahankan tanah ulayat mereka.
Tanah Adat dan Masyarakat Hukum Adat: Aset dan Tantangan
Tanah adat merupakan aset kolektif yang memiliki nilai penting bagi masyarakat hukum adat, baik dari segi sosial, budaya, ekonomi, maupun spiritual. Tanah adat bukan hanya sekadar lahan, melainkan simbol kedaulatan, identitas, dan keberlanjutan hidup komunitas adat yang diwariskan secara turun-temurun. Sebagai aset kolektif, tanah adat diatur dan dikelola berdasarkan hukum adat yang hidup di tengah masyarakat. Pengelolaan ini mencerminkan prinsip kebersamaan dan keseimbangan antara hak individu dan kepentingan komunitas. Dalam hukum adat, tanah adat biasanya tidak dapat diperjualbelikan karena dianggap sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan untuk generasi mendatang. Hal ini memastikan keberlanjutan fungsi sosial dan ekologis tanah tersebut.
Mekanisme Perlindungan Tanah Adat dalam Reforma Agraria
Langkah pertama dalam melindungi tanah adat melalui reforma agraria adalah inventarisasi dan identifikasi tanah adat. Proses ini melibatkan pendataan oleh pemerintah untuk memastikan keberadaan, batas-batas, dan status hukum tanah adat. Hal ini menjadi langkah awal dalam pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat, terutama di tengah tantangan seperti konflik agraria atau privatisasi lahan.
1) Tahap Identifikasi, proses identifikasi dilakukan dengan melibatkan masyarakat hukum adat secara langsung untuk memastikan akurasi data. Dalam tahap ini, pemerintah bekerja sama dengan masyarakat adat untuk memetakan:
Wilayah Adat, yaitu batas-batas tanah yang secara tradisional digunakan untuk permukiman, ladang, hutan adat, atau sumber daya lainnya
Penggunaan dan Pengelolaan, yang mencakup pola pemanfaatan tanah sesuai adat dan fungsi, seperti kegiatan agraris atau ritual budaya
Hak Kolektif, yaitu bukti penguasaan tanah oleh masyarakat adat, baik yang tercatat secara lisan melalui tradisi, catatan sejarah, atau bukti fisiik berupa situs adat
Proses ini memastikan bahwa tanah adat diakui sebagai wilayah kolektif yang memiliki fungsi penting bagi masyarakat adat
2) Pendataan Administrasi, setelah identifikasi, langkah berikutnya adalah pendataan administratif oleh lembaga terkait, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pendataan ini melibatkan: