Mohon tunggu...
A.A Ketut Jelantik
A.A Ketut Jelantik Mohon Tunggu... Penulis - Pengawas Sekolah

Pernah bekerja sebagai wartawan di Kelompok Media Bali Post, menulis artikel di sejumlah media cetak baik lokal maupun Nasional, Redaktur Buletin Gita Mandala Karya Utama yang diterbitkan APSI Bali, Menulis Buku-buku Manajamen Pendidikan, Editor Jurnal APSI Bali, dan hingga saat ini masih ditugaskan sebagai Pengawas Sekolah Jenjang SMP di Kabupaten Bangli-Bali serta Fasilitator Sekolah Penggerak angkatan 3

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Buah Keteguhan, Integritas, dan Inovasi Peter Tabichi

13 Maret 2024   17:42 Diperbarui: 17 Maret 2024   08:37 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Every day in Africa we turn a new page and a new chapter... This prize does not recognise me but recognises this great continent's young people. I am only here because of what my students have achieved. This prize gives them a chance. It tells the world that they can do anything"

Itulah cuplikan pernyataan Peter Tabichi ( 36) dalam wawacara dengan reporter AFP. 

Tabichi adalah seorang guru Matematika dan Fisika yang ditugaskan di pedalaman Kenya yang tahun ini dinobatkan sebagai guru terbaik di dunia (World's best Teacher 2019 Versi,  the Global Education and Skills Forum, an initiative of the Varkey Foundation)

Peter Tabichi adalah seorang guru yang ditugaskan di Keriko Mixed Day Secondary School di Desa Pwani --pedalaman Kenya. 

Guru Matematika sekaligus guru Fisika ini dalam menjalankan tugasnya selain dihadapkan pada keterbatasan sarana prasarana, juga dihadapkan pada masalah sosial sebagaimana yang lumrah terjadi di Afrika. 

Ruang belajar yang terbatas, keterbatasan media dan sumber belajar termasuk komputer, hingga masalah sosial siswanya sangat komplek. 

Di tempatnya bertugas penyalahgunaan Narkoba, kekeringan dan kelaparan, angka putus sekolah yang tinggi, hamil pra-nikah, kawin muda serta kasus sosial lainnya menjadi bagian dari pengalaman keseharian Peter Tabichi. 

Namun berkat kerja keras, komitmen, dan profesionalisme Tabichi berhasil menyisihkan sembilan guru dari seluruh dunia dan atas prestasinya itu  dia bukan saja dinobatkan sebagai guru terbaik dunia ( world's Best Teacher ) namun juga berhak untuk membawa pulang hadiah sebesar 1 juta dollar.

Lantas apa sesunguhnya pesan yang bisa kita petik dari keberhasilan Peter Tabichi tersebut? Ya, keberhasilan tersebut tentunya makin memperkuat tesis bahwa sukses seorang guru bukan semata-mata disebabkan ketersediaan sarana prasarana yang melimpah ruah, kondisi sosial psikologis peserta didik yang mapan sebagaimana yang selama ini selalu diinginkan guru.

Namun, lebih dari itu justru lebih banyak dipengaruhi oleh komitmen, kerja keras dan profesionalisme. Pendek kata, jangan menyerah. Teruslah berinovasi dan berkreasi. Jalan akan terbuka bagi anda.

Sinyalemen berbagai kalangan yang menilai masih banyak guru yang memiliki komitmen rendah tampaknya bukan isapan jempol semata. Jamak diketahui dan bahkan mungkin sudah menjadi rahasia umum jika masih ada guru yang kurang bisa menghargai waktu. 

Ketika bel tanda proses belajar mengajar sudah berbunyi, mereka bukannya langsung mengajar, namu justru memilih ngobrol di kantin, atau di ruang guru. Mereka baru masuk ke kelas jika sudah "dijemput" siswa. 

Selain merupakan praktek tidak baik, perilaku ini juga bisa dijadikan indikator tentang rendahnya komitmen mereka. 

Belum lagi fenomena begitu cepatnya mereka frustasi jika muncul permasalahan yang dipicu perilaku deviant siswanya. Sikap frustasi tersebut ditunjukan dengan cara langsung menjastifikasi bahwa siswa itu bandel, bodoh dan sebagainya. 

Buntutnya sikap frustasi tersebut akhirnya berujung pada kecenderungan menyalahkan orang lain. Ini membuktikan mereka cepat putus asa, dan kurang memiliki kepekaan profesi. 

Mereka yang memang telah menentukan pilihan hidup sebagai guru, maka seharusnya apapun yang terjadi tidak akan menggerus komitmen sebagai seorang guru. 

Kegagalan dalam menjalankan setiap proses kegiatan seharusnya dijadikan bahan refleksi, bukan justru dijadikan sebagai "vitamin" penyubur pesimisme dan apatisme.

Cita-cita besar bangsa Indonesia adalah  menciptakan generasi emas abad 21 yang mampu menjawab tantangan era indsutri 4.0 . Cita --cita besar ini mengharuskan guru yang nota bene garda terdepan penyiapan sumber daya manusia untuk kerja keras. 

Tuntutan terhadap guru bukan hanya sekedar mampu menyelesaikan tugas administrative, namun lebih dari itu adalah guru wajib untuk menghasilkan sumber daya manusia yang tangguh, kreatif, inovatif, cinta budaya dan berkarakter. 

Di sinilah totalitas, dedikasi dan loyalitas seorang guru dibutuhkan. Tuntutan administratif hanya bersifat compliance  atau hanya sebatas tertib administrasi, maka ini rawan dikamuflase misalnya dengan copy paste. Namun jika tuntutannya adalah kompetensi out put maka yang tolok ukurnya adalah kinerja atau performance. 

Guru yang sukses akan direfleksikan oleh kompetensi anak didiknya setelah menyelesaikan pendidikan. Artinya, hanya guru tipe pekerja keras yang akan mampu menghasilkan lulusan yang juga pekerja keras. 

Namun kenyataannya saat ini masih sering ditemukan guru melaksanakan tugas hanya untuk memenuhi tertib administrasi.

Perangkat pembelajaran yang digunakan sudah up to date, lengkap, bahkan sangat komplit. Namun sayang, implementasinya di kelas berbanding terbalik dengan apa yang ditulis dalam perangkat pembelajaran. 

Fenomena ini terjadi karena perangkat yang dimiliki guru bukan hasil kerja keras, kreatifitas, dan inovasi sendiri, namun copy paste  perangkat pembelajaran guru di sekolah lain yang kondisinya 160 derajat berbeda. Fakta ini ini membuktikan masih ada  guru yang kondisinya "lemah, loyo, lesu" dalam berkreativitas.

Jika saja guru telah mampu menunjukan komitmen dan kerja keras, maka sesungguhnya dia sudah menjadi sosok guru yang profesional. 

Guru yang profesional bukan saja mampu mendedikasikan dirinya secara total dalam mengembangkan, menggali potensi anak didiknya, namun juga mampu membaca tanda tanda jaman. 

Guru profesional juga ditunjukan dengan kemampuan untuk melakukan analisis baik kuantitatif maupun kualitatif tentang tantangan dan peluang yang ada di hadapannya. 

Yang juga tak kalah penting guru profesional ditandai dengan kemauan untuk berkompetisi, terbuka, rendah hati dan menjadi sumber inspirasi bagi semua orang sebagaimana yang ditunjukan oleh Peter Tabichi. 

Peter Tabichi membuktikan bahwa keterbatasan dalam segala dimensi tidak menghalangi orang untuk meraih prestasi kerja. Semangat dengan pengabdian tulus, dedikasi dan kerja keras, inovasi dan kreatifitas menjadi senjata ampuh.

Catatan: Tulisan ini disarikan dari Buku Dinamika Pendidikan dan Era Revolusi Industri 4.0 Karya Penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun