Mohon tunggu...
A.A Ketut Jelantik
A.A Ketut Jelantik Mohon Tunggu... Penulis - Pengawas Sekolah

Pernah bekerja sebagai wartawan di Kelompok Media Bali Post, menulis artikel di sejumlah media cetak baik lokal maupun Nasional, Redaktur Buletin Gita Mandala Karya Utama yang diterbitkan APSI Bali, Menulis Buku-buku Manajamen Pendidikan, Editor Jurnal APSI Bali, dan hingga saat ini masih ditugaskan sebagai Pengawas Sekolah Jenjang SMP di Kabupaten Bangli-Bali serta Fasilitator Sekolah Penggerak angkatan 3

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Buah Keteguhan, Integritas, dan Inovasi Peter Tabichi

13 Maret 2024   17:42 Diperbarui: 17 Maret 2024   08:37 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sinyalemen berbagai kalangan yang menilai masih banyak guru yang memiliki komitmen rendah tampaknya bukan isapan jempol semata. Jamak diketahui dan bahkan mungkin sudah menjadi rahasia umum jika masih ada guru yang kurang bisa menghargai waktu. 

Ketika bel tanda proses belajar mengajar sudah berbunyi, mereka bukannya langsung mengajar, namu justru memilih ngobrol di kantin, atau di ruang guru. Mereka baru masuk ke kelas jika sudah "dijemput" siswa. 

Selain merupakan praktek tidak baik, perilaku ini juga bisa dijadikan indikator tentang rendahnya komitmen mereka. 

Belum lagi fenomena begitu cepatnya mereka frustasi jika muncul permasalahan yang dipicu perilaku deviant siswanya. Sikap frustasi tersebut ditunjukan dengan cara langsung menjastifikasi bahwa siswa itu bandel, bodoh dan sebagainya. 

Buntutnya sikap frustasi tersebut akhirnya berujung pada kecenderungan menyalahkan orang lain. Ini membuktikan mereka cepat putus asa, dan kurang memiliki kepekaan profesi. 

Mereka yang memang telah menentukan pilihan hidup sebagai guru, maka seharusnya apapun yang terjadi tidak akan menggerus komitmen sebagai seorang guru. 

Kegagalan dalam menjalankan setiap proses kegiatan seharusnya dijadikan bahan refleksi, bukan justru dijadikan sebagai "vitamin" penyubur pesimisme dan apatisme.

Cita-cita besar bangsa Indonesia adalah  menciptakan generasi emas abad 21 yang mampu menjawab tantangan era indsutri 4.0 . Cita --cita besar ini mengharuskan guru yang nota bene garda terdepan penyiapan sumber daya manusia untuk kerja keras. 

Tuntutan terhadap guru bukan hanya sekedar mampu menyelesaikan tugas administrative, namun lebih dari itu adalah guru wajib untuk menghasilkan sumber daya manusia yang tangguh, kreatif, inovatif, cinta budaya dan berkarakter. 

Di sinilah totalitas, dedikasi dan loyalitas seorang guru dibutuhkan. Tuntutan administratif hanya bersifat compliance  atau hanya sebatas tertib administrasi, maka ini rawan dikamuflase misalnya dengan copy paste. Namun jika tuntutannya adalah kompetensi out put maka yang tolok ukurnya adalah kinerja atau performance. 

Guru yang sukses akan direfleksikan oleh kompetensi anak didiknya setelah menyelesaikan pendidikan. Artinya, hanya guru tipe pekerja keras yang akan mampu menghasilkan lulusan yang juga pekerja keras. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun