Ana Nur Fitri
Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta
anafitri391@gmail.com
ABSTRAK
Masyarakat digitalisasi sangat akrab dengan perkembangan teknologi dan informasi. Berbagai kemajuan dapat dirasakan, dan secara khusus ditujukan untuk generasi Z. Media sosial sebagai salah satu bukti digitalisasi, memanjakan penggunanya untuk dapat berinteraksi di ruang sosial yang dapat diakses kapan pun dan di mana pun. Namun, selain membawa kebermanfaatan, media sosial memiliki sisi gelap yang dapat merugikan penggunanya. Keinginan untuk diakui membuat remaja melakukan apapun di media sosial dengan mengesampingkan masalah yang timbul nantinya, seperti mendorong terganggunya kesehatan mental remaja di era masyarakat digital karena remaja akan kehilangan jati diri, memicu berbagai penyakit mental seperti anxiety dan depresi, serta mengalami keterasingan dengan lingkungan sosial. Panggung sosial yang diciptakan oleh para remaja di media sosial dapat dipahami melalui perspektif Dramaturgi yang dikemukakan oleh Erving Goffman. Tulisan ini didukung oleh kajian literatur serta penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara media sosial dengan gangguan kesehatan mental penggunanya.
Kata kunci: remaja, pangung sosial, gangguan jiwa, eksistensi, dramaturgi
PENDAHULUAN
  Kemajuan teknologi yang tak ada habisnya mengiringi perkembangan masyarakat yang dinamis. Pengetahuan terus berkembang dan manusia tak henti untuk berinovasi. Masyarakat dunia telah memasuki yang namanya era digitalisasi. Masa di mana terjadi perubahan dari sistem analog atau konvensional ke sistem digital. Secara teknis, digitalisasi adalah data yang berupa angka-angka yang diperoleh melalui informasi manual. Transformasi sistem ini lah yang disebut dengan digitalisasi. Saat ini, kita telah memasuki era 5.0 atau imagination society. Era ini memadukan antara data digital dengan imajinasi dan kreatifitas anggota masyarakat yang bertujuan untuk memecahkan masalah dan menciptakan nilai di masa yang akan datang agar tercapai sustainable development seperti yang digadang-gadangkan oleh negara-negara G20.
Berbagai sektor kehidupan saat ini telah memasuki digitalisasi, salah satunya ialah media informasi. Masyarakat digital tentu familiar bahkan tidak lepas dari kecanggihan alat informasi yang mudah untuk digenggam. Gadget, sebuah bukti berkembangnya teknologi, memiliki peranan penting dalam civil society. Kemudahan akses yang ditawarkan membuat masyarakat beralih ke informasi digital. Pasalnya, kita dapat mengetahui perkembangan informasi dari seluruh dunia hanya dengan menggulirkan layar kaca di dalam genggaman. Kita pun dapat saling berinteraksi dengan berbagai masyarakat di kebudayaan yang berbeda melalui media sosial.
Saat ini, media sosial dapat diartikan sebagai ruang sosial yang mendorong terjadinya interaksi yang akan mempengaruhi tindakan individu, bahkan terbentuknya sebuah tindakan kolektif. Misalnya, dalam sebuah kolom komentar terdapat percakapan antara individu yang tengah mencari review produk yang akan dibelinya dengan individu yang memberikan review. Interaksi ini dapat mempengaruhi calon pembeli untuk memutuskan tindakannya. Jika sang reviewer memberikan komentar yang positif, maka bisa saja terjadi proses meyakinkan si pembeli yang akhirnya ia pun membelinya. Tanpa disadari, dari interaksi sederhana tercipta sebuah tindakan ekonomi. Contoh lainnya yang sering kita temukan di media sosial adalah ajakan atau gerakan kampanye. Media sosial terbukti masif dalam memberikan pengaruh, baik yang positif maupun negatif. Pasca tragedi Kanjuruhan kemarin, ramai-ramai disebarluaskan ajakan urunan untuk para korban oleh salah satu komunitas penggemar boyband K-pop di media sosial. Tak diragukan lagi, dalam waktu beberapa hari saja dana yang terkumpul mencapai 447 juta rupiah. Ini membuktikan bahwa media sosial dapat menciptakan tindakan kolektif.
Dari 275 juta jiwa penduduk Indonesia, 191,4 juta di antaranya merupakan pengguna aktif media sosial. Angka ini membuat Indonesia menduduki peringkat keempat dengan pengguna internet terbesar di dunia. Generasi Z berada di posisi tertinggi pengguna media sosial. Generasi yang lahir pada rentang tahun 1996-2010 memiliki kemudahan beradaptasi dengan teknologi. Media sosial telah menjadi bagian hidup dari generasi ini. Hal yang instan dan mendorong terciptanya citra diri menjadi alasan kuat bagi GenZ untuk menunjukkan eksistensinya di media sosial. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa selain membawa kebermanfaatan, media sosial menghadirkan berbagai polemik, seperti mudahnya tersebar berita hoax, penipuan digital, dan mendorong terganggunya kesehatan mental penggunanya.
Media sosial sering dipergunakan sebagai alat untuk menunjukkan eksistensi diri. Para remaja umumnya mengharapkan validasi dari pengikut atau yang biasa disebut dengan followers. Berbagai aplikasi serta fitur yang mendukung memudahkan penggunanya untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Namun demikian, hal tersebut dapat membawa dampak negatif, seperti terganggunya kesehatan mental jika yang terjadi tidak sesuai dengan harapan atau pembentukan karakter yang berlebihan. Oleh karena itu, tulisan ini berargumen bahwa media sosial mendorong terganggunya kesehatan mental remaja di era masyarakat digital karena remaja akan kehilangan jati diri, memicu berbagai penyakit mental seperti anxiety dan depresi, serta mengalami keterasingan dengan lingkungan sosial.
     Â
TEMUANÂ
Menurut dr. Antari Puspita (Kemenkes: 2022), gangguan mental atau jiwa adalah kondisi kesehatan yang dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, perilaku, suasana hati, atau kombinasi diantaranya. Kondisi ini dapat terjadi sesekali atau berlangsung dalam waktu yang lama dan membutuhkan penanganan oleh ahlinya. Berdasarkan rilis yang diberikan oleh WHO, satu dari lima anak di dunia memiliki gangguan jiwa. Sedangkan, riset yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Dan Keperawatan UGM, menyatakan bahwa 2,45 juta jiwa atau satu dari tiga remaja di Indonesia mengalami gangguan jiwa. Angka ini mengejutkan karena seharusnya usia remaja memiliki perkembangan mental yang siap untuk membawa dirinya menuju ke kedewasaan.
KEHILANGAN JATI DIRIÂ
Instagram, Facebook, Tiktok, ,Snapchat, dan Twitter merupakan media sosial yang paling sering digunakan. Aplikasi ini menawarkan berbagai fitur yang menarik penggunanya, seperti filter, pengeditan, dsb. Para pengguna media sosial ini memiliki motif yang beragam. Bisa saja seseorang ingin meluapkan perasaannya atau ingin membagikan momen-momen tertentu. Remaja umumnya menginginkan pengakuan atau validasi dari orang-orang di sekitar. Melalui media sosial, mereka dapat mencapai tujuan tersebut. Biasanya, mereka dengan sengaja membentuk branding self image yang diinginkan. Misalnya dengan memposting berbagai pencapaian, seorang remaja ingin mendapatkan pujian di kolom komentar. Branding yang dibangun adalah pribadi yang berprestasi. Hal ini akan menjadi baik jika apa yang ditampilkan sesuai dengan kenyataan. Sebaliknya, jika branding yang dibangun tidak sesuai atau justru berlebihan, maka akan menjadi masalah nantinya. Misalnya, remaja menginginkan validasi atau pengakuan bahwa dirinya adalah orang dengan prinsip bebas, ia dengan bangga membagikan momen yang memperlihatkan dirinya sedang berada dalam club malam. Berdasarkan perkembangan zaman, saat ini hal-hal yang menyimpang justru digemari oleh kaum remaja. Kegiatan di club malam tersebut dianggap sebagai pencapaian karena tidak semua orang dapat melakukannya. Padahal, dalam kehidupan nyata, remaja tersebut memiliki perilaku yang baik. Hal ini tentu bertolak belakang dengan image yang dibangun di media sosial. Jika para remaja ini mengutamakan pandangan orang terhadap dirinya, maka mereka akan terus melakukan hal yang sama demi mendukung tercapainya validasi atas dirinya. Remaja akan merasa tertekan jika tidak dapat memenuhi ekspektasi orang lain terhadap dirinya.
Media sosial membuat penggunanya dapat berinteraksi dengan pengguna lain dari berbagai belahan dunia. Siapa pun dapat mengetahui aktivitas orang lain melalui cerita yang dibagikannya. Saat melihatnya, seseorang secara otomatis dapat terpengaruh emosinya. Meskipun tanpa informasi non verbal, emosi yang disajikan dapat tersampaikan dengan baik sebagaimana yang diungkapkan oleh Kramer (2014) dalam studinya. Misalnya sebuah postingan yang dibagikan oleh seseorang memuat momen membahagiakan, seperti pernikahan, perayaan ulang tahun, atau acara makan bersama keluarga, penonton atau pengguna yang melihat postingan tersebut akan ikut merasa bahagia walaupun perasaan tersebut tidak sebesar si pembuat cerita. Begitu pun jika postingan yang dibagikan memuat informasi menyedihkan, seperti kematian, bencana alam, dsb. Postingan ini akan menimbulkan rasa simpati bagi yang melihatnya. Namu, perasaan ini tidaklah baku, respon emosi yang timbul dapat berkebalikan dengan postingan. Berdasarkan hal tersebut, media sosial dapat mendorong penggunanya untuk membandingkan dirinya dengan orang lain. Individu mulai menerka bagaimana seseorang mendapatkan sebuah pencapaian. Selain itu, individu akan membandingkan apa yang terjadi dalam hidupnya dengan apa yang terjadi pada hidup orang lain, seperti hasil studi yang diteliti oleh Steers dkk (2014).
Remaja meningkatkan reflektifitas akan diri mereka dan apa yang orang lain pikirkan tentang mereka. Jika terdapat perbedaan dengan yang lain, umumnya dengan kelompok teman sebaya, remaja akan mempertanyakan mengapa mereka mendapatkannya? mengapa saya tidak bisa seperti dia? dan pertanyaan lainnya yang dapat menimbulkan perasaan ketidakmampuan diri. Maka dengan perasaan itu, remaja bisa saja termotivasi untuk melakukan pengembangan diri atau malah mengalami demotivasi dan penurunan kualitas serta kepercayaan diri. Mereka merasa tidak puas dengan hasil usahanya dan mulai menyalahi takdirnya.
Dalam interaksi yang dihadirkan di ruang sosial maya, berbagai perasaan negatif dapat dihadirkan. Remaja memiliki antusiasme yang tinggi serta pemikiran yang idealis. Mereka memiliki kebutuhan yang kuat untuk diterima dan disukai. Melalui media sosial, mereka mendapatkan pengakuan dari orang-orang di sekitar. Maka dalam panggung sosial ini, remaja berusaha untuk menjadi apa yang orang lain harapkan. Mereka membuat skenario serta peran seperti apa yang ingin ditampilkan agar mendapat atensi. Hal ini memicu terjadinya perasaan keterasingan pada remaja atas dirinya sendiri.
MEMICU DEPRESI DAN ANXIETYÂ
Depresi merupakan salah satu penyakit gangguan mental yang ditandai oleh adanya perasaan sedih yang berlarut, mudah tersinggung, kehilangan ketertarikan, maupun perasaan kosong dalam diri. Depresi dapat terjadi kapan saja dan pada siapa saja. Namun, dalam mendiagnosisnya, diperlukan pemantauan atau tes langsung oleh orang yang ahli di bidangnya, sehingga kita tidak bisa mengklaim diri atau orang lain mengidap depresi meskipun memiliki ciri-ciri yang disebutkan sebelumnya. Terdapat beberapa tingkat depresi, dan yang membedakannya ialah durasi, waktu, dan dugaan etologi. Bunuh diri merupakan tingkat tertinggi dari depresi.
Berbagai penelitian dilakukan untuk mengetahui pasti penyebab dari depresi. Belum ada penelitian yang menghasilkan sebuah kepastian terkait hal ini. Namun, sebagaimana yang dikutip oleh Drs. Mardiya, salah satu teori yang dikemukakan oleh Beck (1974) dengan perspektif cognitive-behavioral, menyatakan bahwa depresi terjadi karena pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, interpretasi yang negatif terhadap pengalaman hidup dan harapan yang negatif terhadap diri sendiri dan masa depan. Pandangan ini menyebabkan timbulnya depresi, rasa tidak berdaya dan putus asa. Penyebab depresi pada anak usia remaja mirip dengan orang dewasa, biasanya karena triad cognitive yaitu: perasaan tidak berharga (worthlessness), tidak ada yang menolong dirinya sendiri (helplessness), dan tidak ada harapan (hopelessness). Sedangkan menurut teori belajar "merasa tidak berdaya" (learned helplessness model) dari Seligman (1975) depresi terjadi bila seorang individu mengalami suatu peristiwa yang tidak dapat dikendalikannya, kemudian merasa tidak mampu untuk menguasai masa depan.
Satu hipotesis untuk hubungan antara penggunaan media sosial dan gejala depresi adalah tindakan membandingkan kehidupan seseorang yang tidak sempurna dengan gambar kehidupan orang lain yang disempurnakan, diedit, dan tampaknya sempurna. Meskipun alasan ini bukanlah penyebab utama depresi pada remaja, tetapi hal ini dapat meningkatkan perkembangan pada gejala depresi.
Berbeda dengan depresi, anxiety merupakan gangguan mental yang menimbulkan kecemasan berlebih pada penderitanya. Anxiety dapat memicu penyakit lainnya, seperti yang diungkapkan dalam sebuah penelitian di Inggris tahun 2018 yang mengaitkan penggunaan media sosial dengan penurunan, gangguan, dan penundaan tidur, yang dikaitkan dengan depresi, kehilangan memori, dan kinerja akademik yang buruk. Penggunaan media sosial dapat mempengaruhi kesehatan fisik pengguna secara lebih langsung. Para peneliti mengetahui hubungan antara pikiran dan usus dapat mengubah kecemasan dan depresi menjadi mual, sakit kepala, ketegangan otot, dan tremor.
Fitur media sosial menghadirkan "like dan comment" pada postingan yang dibagikan. Untuk meningkatkan harga diri dan perasaan berada dalam lingkaran sosial, orang-orang memposting konten dengan harapan menerima umpan balik yang positif. Hal ini pun yang dipikirkan oleh para remaja ketika ingin membagikan ceritanya. Apakah saya akan mendapatkan banyak like? mengapa tidak ada orang yang mengomentari? bagaimana caranya disukai? mengapa semua orang menghujat saya?. Mereka mencari validasi di internet yang berfungsi sebagai pengganti koneksi bermakna yang mungkin tidak mereka buat di kehidupan nyata. Selain itu, ada istilah yang familiar di kalangan muda mudi, yaitu FOMO. FOMO atau fear of missing out adalah perasaan takut ketinggalan akan sesuatu yang sedang tren. Jika semua orang menggunakan situs media sosial, maka mereka harus menggunakannya karena mereka khawatir akan dianggap kuno atau tidak up to date. Mereka takut jika komunikasi yang dibangun tidak berhasil karena dirinya tidak mengetahui lelucon apa yang sedang ditertawakan, informasi apa yang sedang hangat diperbincangkan, dsb. Mereka takut merasa dipinggirkan dan tidak disukai. Oleh karena itu, ketakutan akan hal tersebut dapat membawa mereka kepada anxiety atau kecemasan berlebih.
KETERASINGAN DENGAN LINGKUNGAN SOSIAL
Perasaan kesepian atau tidak memiliki siapa-siapa untuk bercerita merupakan salah satu dampak dari penggunaan media sosial yang berlebih. Media sosial seperti Twitter menawarkan penggunanya untuk menge-tweet apapun yang sedang dipikirkan. Tak jarang penggunanya menggunakan platform ini untuk mengungkapkan isi hati atau sekedar menuangkan pikirannya. Individu mengharapkan koneksi sosial di internet. Dengan demikian, validasi atas perasaan dan kata-kata pendukung dapat diterima oleh si pembuat tweet. Ketika remaja menggunakan media sosial dan menjadikan dunia maya sebagai tempat yang memiliki kenyamanan lebih dari dunia nyata, memungkinkan remaja memilih untuk mengutamakan interaksi sosial di dunia maya. Namun, remaja harus menyadari bahwa koneksi sosial online tidak cukup menggantikan kedalaman dan kualitas hubungan offline. Akibatnya, individu dengan ribuan koneksi media sosial masih bisa merasa kesepian, tidak dikenal, dan tidak didukung.
ANALISIS Â Â
Salah satu teori sosiologi modern yang dikemukakan oleh Erving Goffman, mengatakan bahwa kehidupan adalah drama. Setiap individu merupakan aktor dalam dunia sosialnya. Individu dapat mengatur peran atau karakter seperti apa yang ingin dibangun melalui back stage, biasanya bertujuan untuk menunjukkan citra positif. Back stage atau panggung belakang merupakan tempat individu menunjukkan sifat aslinya di panggung depan. Panggung depan atau front stage menampilkan cerita yang ingin dipertontonkan ke orang lain. Dengan mempersiapkan hal-hal seperti, penampilan, personal front, perilaku, serta momentum, dapat mendorong tercapainya tujuan individu melakukan dramaturgi.
Tidak hanya kehidupan di dunia nyata, di dunia maya pun seseorang dapat melakukan dramaturgi. Individu khususnya dalam pembahasan ini ialah remaja yang aktif menggunakan media sosial, berupaya untuk membangun sebuah citra diri yang diinginkan. Melalui platform serta fitur yang tersedia, membantu remaja untuk menjalankan aktingnya di front stage tanpa diketahui apa yang sebenarnya terjadi. Semua yang terdapat di media sosial tidak sepenuhnya benar. Ketika para remaja ini membangun citra diri yang berlebihan dan tidak sesuai dengan kenyataan, maka mereka akan merasa tertekan jika tujuan dari citra diri itu sendiri tidak tercapai. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan, seperti dengan membuat kebohongan dan manipulasi. Selain itu, remaja memiliki keinginan atau obsesi atas sebuah eksistensi dan validasi. Mungkin mereka tidak mendapatkannya di dunia nyata, sehingga dunia maya lah yang menjadi harapan. Panggung sosial yang diciptakan dapat membawa berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para remaja.
KESIMPULAN
Penggunaan media sosial yang tidak terkontrol dapat membawa para remaja ke dalam kondisi yang mengganggu kesehatan mental mereka. Keinginan untuk diakui membuat remaja melakukan apapun di media sosial dengan mengesampingkan masalah yang timbul nantinya, seperti mendorong terganggunya kesehatan mental remaja di era masyarakat digital karena remaja akan kehilangan jati diri, memicu berbagai penyakit mental seperti anxiety dan depresi, serta mengalami keterasingan dengan lingkungan sosial. Dengan memahami teori dramaturgi, permasalahan yang timbul akibat panggung sosial yang dibuat oleh para remaja di media sosial dapat dipahami.
Berdasarkan tulisan ini, diperlukan adanya kontrol dalam menggunakan media sosial, baik dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sosial. Kekuatan akan self esteem membuat individu dapat terhindar dari permasalahan kesehatan jiwa yang mengancam di era digitalisasi saat ini.
REFERENSI
Association, A. P. (2022). DIAGNOSTIC AND STATISTICAL MANUAL OF MENTAL DISORDERS . Washington DC: American Psychiatric Association .
Cesar Uji Tawakal. (2022, 05 17). Peningkatan Penggunaan Media Sosial di Kalangan Remaja dan Dampaknya pada Kesehatan Mental Mereka. Retrieved from Suara.com: https://www.suara.com/health/2022/05/17/114522/peningkatan-penggunaan-media-sosial-di-kalangan-remaja-dan-dampaknya-pada-kesehatan-mental-mereka
Diananda, A. (2019). PSIKOLOGI REMAJA DAN PERMASALAHANNYA.
Diniari, N. K. (2020). Durasi Penggunaan Media Sosial dan Kecemasan Pada Mahasiswa Fakultas.
Jhonson, D. P. (1986). In R. M. Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (pp. 42-53). Jakarta: PT. Gramedia.
Koran tempo. (2022, 10 14). Gangguan Jiwa Mengintai Remaja. Retrieved from Koran Tempo: https://koran.tempo.co/read/kesehatan/477200/245-juta-remaja-indonesia-tergolong-orang-dengan-gangguan-jiwa
McLean Hospital. (2022, Januari 21). The Social Dilemma: Social Media and Your Mental Health. Retrieved from McLean: https://www-mcleanhospital-org.translate.goog/essential/it-or-not-social-medias-affecting-your-mental-health?_x_tr_sl=auto&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=wapp
Mozes, A. (2021, 11 23). Social media tied to higher risk of depression. Retrieved from Medicalxpress: https://medicalxpress-com.translate.goog/news/2021-11-social-media-tied-higher-depression.html?_x_tr_sl=auto&_x_tr_tl=en&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=wapp
Rachmawati, A. A. (2020, November 27). Darurat Kesehatan Mental bagi Remaja. Retrieved from Egsa.Geo.UGM: https://egsa.geo.ugm.ac.id/2020/11/27/darurat-kesehatan-mental-bagi-remaja/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H