Mohon tunggu...
Ana Nur Fitri
Ana Nur Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi

Senang mencoba hal baru yang bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Remaja: Panggung Sosial dan Permasalahannya

24 Oktober 2022   12:47 Diperbarui: 24 Oktober 2022   13:38 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Media sosial sering dipergunakan sebagai alat untuk menunjukkan eksistensi diri. Para remaja umumnya mengharapkan validasi dari pengikut atau yang biasa disebut dengan followers. Berbagai aplikasi serta fitur yang mendukung memudahkan penggunanya untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Namun demikian, hal tersebut dapat membawa dampak negatif, seperti terganggunya kesehatan mental jika yang terjadi tidak sesuai dengan harapan atau pembentukan karakter yang berlebihan. Oleh karena itu, tulisan ini berargumen bahwa media sosial mendorong terganggunya kesehatan mental remaja di era masyarakat digital karena remaja akan kehilangan jati diri, memicu berbagai penyakit mental seperti anxiety dan depresi, serta mengalami keterasingan dengan lingkungan sosial.

           

TEMUAN 

Menurut dr. Antari Puspita (Kemenkes: 2022), gangguan mental atau jiwa adalah kondisi kesehatan yang dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, perilaku, suasana hati, atau kombinasi diantaranya. Kondisi ini dapat terjadi sesekali atau berlangsung dalam waktu yang lama dan membutuhkan penanganan oleh ahlinya. Berdasarkan rilis yang diberikan oleh WHO, satu dari lima anak di dunia memiliki gangguan jiwa. Sedangkan, riset yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Dan Keperawatan UGM, menyatakan bahwa 2,45 juta jiwa atau satu dari tiga remaja di Indonesia mengalami gangguan jiwa. Angka ini mengejutkan karena seharusnya usia remaja memiliki perkembangan mental yang siap untuk membawa dirinya menuju ke kedewasaan.

KEHILANGAN JATI DIRI 

Instagram, Facebook, Tiktok, ,Snapchat, dan Twitter merupakan media sosial yang paling sering digunakan. Aplikasi ini menawarkan berbagai fitur yang menarik penggunanya, seperti filter, pengeditan, dsb. Para pengguna media sosial ini memiliki motif yang beragam. Bisa saja seseorang ingin meluapkan perasaannya atau ingin membagikan momen-momen tertentu. Remaja umumnya menginginkan pengakuan atau validasi dari orang-orang di sekitar. Melalui media sosial, mereka dapat mencapai tujuan tersebut. Biasanya, mereka dengan sengaja membentuk branding self image yang diinginkan. Misalnya dengan memposting berbagai pencapaian, seorang remaja ingin mendapatkan pujian di kolom komentar. Branding yang dibangun adalah pribadi yang berprestasi. Hal ini akan menjadi baik jika apa yang ditampilkan sesuai dengan kenyataan. Sebaliknya, jika branding yang dibangun tidak sesuai atau justru berlebihan, maka akan menjadi masalah nantinya. Misalnya, remaja menginginkan validasi atau pengakuan bahwa dirinya adalah orang dengan prinsip bebas, ia dengan bangga membagikan momen yang memperlihatkan dirinya sedang berada dalam club malam. Berdasarkan perkembangan zaman, saat ini hal-hal yang menyimpang justru digemari oleh kaum remaja. Kegiatan di club malam tersebut dianggap sebagai pencapaian karena tidak semua orang dapat melakukannya. Padahal, dalam kehidupan nyata, remaja tersebut memiliki perilaku yang baik. Hal ini tentu bertolak belakang dengan image yang dibangun di media sosial. Jika para remaja ini mengutamakan pandangan orang terhadap dirinya, maka mereka akan terus melakukan hal yang sama demi mendukung tercapainya validasi atas dirinya. Remaja akan merasa tertekan jika tidak dapat memenuhi ekspektasi orang lain terhadap dirinya.

Media sosial membuat penggunanya dapat berinteraksi dengan pengguna lain dari berbagai belahan dunia. Siapa pun dapat mengetahui aktivitas orang lain melalui cerita yang dibagikannya. Saat melihatnya, seseorang secara otomatis dapat terpengaruh emosinya. Meskipun tanpa informasi non verbal, emosi yang disajikan dapat tersampaikan dengan baik sebagaimana yang diungkapkan oleh Kramer (2014) dalam studinya. Misalnya sebuah postingan yang dibagikan oleh seseorang memuat momen membahagiakan, seperti pernikahan, perayaan ulang tahun, atau acara makan bersama keluarga, penonton atau pengguna yang melihat postingan tersebut akan ikut merasa bahagia walaupun perasaan tersebut tidak sebesar si pembuat cerita. Begitu pun jika postingan yang dibagikan memuat informasi menyedihkan, seperti kematian, bencana alam, dsb. Postingan ini akan menimbulkan rasa simpati bagi yang melihatnya. Namu, perasaan ini tidaklah baku, respon emosi yang timbul dapat berkebalikan dengan postingan. Berdasarkan hal tersebut, media sosial dapat mendorong penggunanya untuk membandingkan dirinya dengan orang lain. Individu mulai menerka bagaimana seseorang mendapatkan sebuah pencapaian. Selain itu, individu akan membandingkan apa yang terjadi dalam hidupnya dengan apa yang terjadi pada hidup orang lain, seperti hasil studi yang diteliti oleh Steers dkk (2014).

Remaja meningkatkan reflektifitas akan diri mereka dan apa yang orang lain pikirkan tentang mereka. Jika terdapat perbedaan dengan yang lain, umumnya dengan kelompok teman sebaya, remaja akan mempertanyakan mengapa mereka mendapatkannya? mengapa saya tidak bisa seperti dia? dan pertanyaan lainnya yang dapat menimbulkan perasaan ketidakmampuan diri. Maka dengan perasaan itu, remaja bisa saja termotivasi untuk melakukan pengembangan diri atau malah mengalami demotivasi dan penurunan kualitas serta kepercayaan diri. Mereka merasa tidak puas dengan hasil usahanya dan mulai menyalahi takdirnya.

Dalam interaksi yang dihadirkan di ruang sosial maya, berbagai perasaan negatif dapat dihadirkan. Remaja memiliki antusiasme yang tinggi serta pemikiran yang idealis. Mereka memiliki kebutuhan yang kuat untuk diterima dan disukai. Melalui media sosial, mereka mendapatkan pengakuan dari orang-orang di sekitar. Maka dalam panggung sosial ini, remaja berusaha untuk menjadi apa yang orang lain harapkan. Mereka membuat skenario serta peran seperti apa yang ingin ditampilkan agar mendapat atensi. Hal ini memicu terjadinya perasaan keterasingan pada remaja atas dirinya sendiri.

MEMICU DEPRESI DAN ANXIETY 

Depresi merupakan salah satu penyakit gangguan mental yang ditandai oleh adanya perasaan sedih yang berlarut, mudah tersinggung, kehilangan ketertarikan, maupun perasaan kosong dalam diri. Depresi dapat terjadi kapan saja dan pada siapa saja. Namun, dalam mendiagnosisnya, diperlukan pemantauan atau tes langsung oleh orang yang ahli di bidangnya, sehingga kita tidak bisa mengklaim diri atau orang lain mengidap depresi meskipun memiliki ciri-ciri yang disebutkan sebelumnya. Terdapat beberapa tingkat depresi, dan yang membedakannya ialah durasi, waktu, dan dugaan etologi. Bunuh diri merupakan tingkat tertinggi dari depresi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun