Mohon tunggu...
AmYu Sulistyo
AmYu Sulistyo Mohon Tunggu... Mahasiswa -

@amyu12 || Ambar Sulistyo Ayu || Seorang Calon Perencana yang Real akan merealisasikan rencana membuat Kota Impian dunia || T.PWK Undip 2012 || Project taker

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hanya Bunga Tidur 3: Tempat Pensil Rp 2380 (Mungkin Redenominasi)

12 Oktober 2015   12:25 Diperbarui: 12 Oktober 2015   12:25 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Subhanallah,

Maha Suci Allah yang menciptakan mata untuk melihat dan hati untuk merasakan sebuah rasa. Namun aku belum menyebutnya cinta, hanya ketertarikan, karena hanya aku yang tertarik, lalu semuanya tak berbalas.

Aku memandangnya dari sebuah mall bertingkat dengan kaca transparan, cukup tinggi, bahkan jika harus menggunakan eskalatorpun aku tak sanggup menanjakinya, mungkin itu adalah eskalator yang cukup tinggi yang pernah aku lihat selain di Changi Airport.

Sebut saja dia U, dan Aku juga bernama U, di sebuah Hall 2 lantai sebelum lantai yang paling tinggi, aku memutuskan duduk, mengambil kursi kayu seukuran yang dipakai anak TK, aku duduk dan memandang keluar, ke arah kaca yang transparan. Dia tampak indah dari atas sini, seorang pria yang aku kenal, ia cukup menarik pandangan mataku, meskipun kecil dari sini, namun ia terlihat sedang tidur di kasur kecilnya, lebih tepatnya dipan, yang ada di kamarnya. Wow, mengapa bisa terlihat, entahlah. Aku memandanginya terus tanpa berlalu. Padahal U mungkin juga telah memandangiku dengan indah. Atau mungkin kaca berukuran gigantis ini telah menghalangi pandangannya terhadapku, tak sekalipun ia memandang ke arah sini. Namun aku melihat wajahnya cukup jelas.

Namun ia tiba-tiba berada di hall yang sama sepertiku, menduduki kursi yang lebih besar dari kursi kayuku.

Ia bertanya, “Mencariku?”

“Tidak, pergi sana!” Jawabku Implusive. Bukan dia yang pergi, malah aku yang beranjak, melalukan diriku ke arah kanan, menggapai eskalator yang bergerak ke bawah. Buru-buru ia mengejarku.

“Maafkan aku.”

Katanya sambil mengalungkan tangannya ke badanku, aku tak bisa bergerak seberontaknya aku dengannya.

“Mungkin setelah ini kamu tak perlu gusar dengan instagrammu yang aku kritik, maafkanlah aku. Maafkan.”

Aku benar-benar tanpa kata, namun air mataku menetes, membasahi tangannya. Seketika tangannya lepas. Aku memandangnya dengan mata sangat basah.

“Mungkin aku akan berjalan sendiri.” kataku sambil berlalu.

“Aku akan menemanimu.” untainya sambil mengikuti tiap langkah derapku di sampingku.

Dia bagaikan Grey shadow yang juga mengikutiku.

Subhanallah, Maha Suci Allah yang menciptakan mata untuk melihat dan hati untuk merasakan sebuah rasa.

Lalu pandangan mataku tertuju ke sebuah toko aksesoris yang menarik. Aku melihat jam yang terpajang, akurat, 22.35. Wow, tak terasa sudah lama waktu berlalu di sini. Aku melihat sebelahnya, terdapat 1 set paket manicure, Ahh… mengapa aku harus merawat kuku yang hanya kugigit saat aku iseng.

Lalu aku melihat Dosgrip, warnanya abu-abu berwarna denim, langsung kubaca pricetagnya dan tertera Rp 2380. Sementara ku check di dalamnya terdapat dompet bermerek sama dengan Tempat pensil itu. Lalu aku melihat ke Tempat pensil sebelahnya, harganya jauh lebih mahal, Rp 156.000 yang tertera di sana. “Coba lihat, harganya murah sekali namun aku bisa mendapat dompet.” ujarku padanya dengan nada gembira, lupa dengan kejadian barusan.

Aku bertanya pada kasir

“Berapa harganya mas?”

“Rp 238.000”

“what, kog ditambah 2 0 nya. di mana-mana orang motong angka dengan satuan ribuan.” dia begitu marah.

“Mungkin Redenominasi.” ujarku sambil menarik kembali dusgrip denim yang takkan terbeli itu. Aku letakkan kembali ia ke keranjang tempat aku mengambil.

Lalu kami berdua melanjutkan perjalanan kami dalam bisu. Namun malam makin larut, waktuku untuk pulang. Bukan mengendarai sebuah mobil pribadi. “Pribadi” mungkin tak ada di kamus kami, dan aku memilih menggunakan angkot sebagai transportasi yang aku gunakan. Masih ada, namun… Ah, ini jam 00.30. Lalu aku melawan gelap ini sendirian. Aku membayar tarif angkotnya,

“Tiga juta mbak”

“Sinting kamu, emangnya uang Indonesia Inflasi segitu cepatnya?” kataku emosi pada pak kondektur.

“Tidak-tidak, aku hanya bercanda. Aslinya tiga ribu mbak.”

Tetap, kelipatan ribu, tidak seperti angkat di dusgrip denim tadi yang berlipat ratus.

Sementara U, yang tadi berjalan denganku telah berlalu cukup jauh, menembus gelap dengan caranya sendiri. Mungkin iya, dia memang hanya imajinasiku.

Subhanallah,

Maha Suci Allah yang menciptakan hati untuk merasakan sebuah rasa, dan imajinasi untuk berangan-angan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun