Lalu kami berdua melanjutkan perjalanan kami dalam bisu. Namun malam makin larut, waktuku untuk pulang. Bukan mengendarai sebuah mobil pribadi. “Pribadi” mungkin tak ada di kamus kami, dan aku memilih menggunakan angkot sebagai transportasi yang aku gunakan. Masih ada, namun… Ah, ini jam 00.30. Lalu aku melawan gelap ini sendirian. Aku membayar tarif angkotnya,
“Tiga juta mbak”
“Sinting kamu, emangnya uang Indonesia Inflasi segitu cepatnya?” kataku emosi pada pak kondektur.
“Tidak-tidak, aku hanya bercanda. Aslinya tiga ribu mbak.”
Tetap, kelipatan ribu, tidak seperti angkat di dusgrip denim tadi yang berlipat ratus.
Sementara U, yang tadi berjalan denganku telah berlalu cukup jauh, menembus gelap dengan caranya sendiri. Mungkin iya, dia memang hanya imajinasiku.
Subhanallah,
Maha Suci Allah yang menciptakan hati untuk merasakan sebuah rasa, dan imajinasi untuk berangan-angan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H