Mohon tunggu...
amuk nalar
amuk nalar Mohon Tunggu... Wiraswasta - advokat

berkarya untuk masa depan bangsa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

UU Pemajuan Kebudayaan sebagai Alat Menggali Kekayaan Indonesia

5 Februari 2018   09:46 Diperbarui: 5 Februari 2018   10:07 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berdasarkan statistic BPS, Indonesia memiliki 1340 suku atau 300 kelompok Etnis di Indonesia. Selain itu, negeri yang berjuluk "nusantara" ini juga menyimpan 742 bahasa daerah, dengan upacara adat, pakian adat, pengobatan tradisional ala adat, teknologi tradisional, dan sifat serta kekhasan adat yang beragam dari 33 Propinsi yang tersebar di Indonesia. Keanekaragaman budaya tersebut tidak lain adalah adalah anugerah Allah SWT.

Disisi lain, masih segar dalam ingatan kita, tahun 2016, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mengejutkan publik Indonesia dengan release media yang menyatakan bahwa produksi batu bara kita 300 -- 400 juta ton per tahun, konsumsi 170 juta ton per tahun, dan cadangan tinggal 800 milliar ton. Sehingga diperkirakan batu bara kita habis di tahun 2035 -- 2036. Dimulai tahun tersebut, Indonesia tidak memiliki batu bara untuk memenuhi kebutuhan proyek sebesar 35.000 MW.

 Jauh sebelumnya, di tahun 2013, Ali Masykur Musa anggota BPKRI menyampaikan ke publik bahwa perusahaan asing memegang 70 persen pertambangan migas. Asing menguasai 75 persen izin tambang batu bara, bauksit, nikel dan timah mencapai 75 persen. Untuk tambang emas dan tembaga mencapai 85 persen. 

Secuil dari sisa kerakusan asing tersebut adalah milik Negara. Negara kita sedang menuju krisis bahkan mengarah pada kebangkrutan, ditambah lagi jika secuil terhadap tambang dan pangan yang dikuasai negara, tidak masuk ke kas negara.

Berdasar uraian kondisi diatas, Indonesia tengah menghadapi prospek krisis dan kemiskinan. Indonesia harus mengarahkan kompas pembangunan pada sektor lain. Apakah memungkinkan budaya menjadi sektor yang dapat diandalkan? 

Satu catatan pada bagian masyarakat, bahwa budaya sebagai sumber pendapatan adalah tabu. Selain karena perilaku budaya erat kaitanya dengan ritual suci, yang dianggap tidak pantas dimatrialkan, masyarakat kita berkecenderungan "ewuh pakewuh" untuk berbiasa mematok harga tentang sesuatu yang awalnya adalah kebiasaan masyarakat. Seiring dengan kebutuhan masyarakat, catatan tersebut harus ditelaah kembali.

Bahwa keragaman yang dimiliki Indonesia sebagaimana terurai di awal tulisan ini adalah kekayaan yang dititipkan Allah kepada Indonesia. Budaya terbentuk dari proses olah fisik, pikiran dan batin manusia sehingga melahirkan kekuatan yang sering tidak dapat terukur dengan rasio. Budaya menghasilkan suatu ketenangan yang tidak pernah terjamah oleh kajian ilmiah, suatu ketenangan dunia akibat keseimbangan kosmos antara manusia, alam, ruh dan alam immaterial. 

Keseimbangan tersebut diperkokoh dengan lambaran wahyu ilahiah, yang sejatinya tertancap pada diri manusia semenjak lahir ditambah dengan ajaran-ajaran yang dibawa oleh para utusan Sang Penguasa Alam. 

Budaya terekspresikan dalam tata perilaku, bentuk, ciri kas, dan karakteristik di masyarakat, atau entitas-entitas yang membedakan suatu bangsa dengan lainnya. Budaya menghasilkan sesuatu yang indah yang bersifat rekreatif, sehingga tidak dapat dipungkiri sebagai arah pelarian untuk memendam atau membuah jenuh dari hiruk pikuk rutinitas kerja.

Uraian tersebut mengisyarakatkan beberapa fungsi budaya. Budaya sebagai karakteristik suatu bangsa; budaya sebagai jalan kesempurnaan manusia, dan budaya sebagai alat pemenuhan kebutuhan manusia. Ketiga fungsi tersebut adalah setitik fungsi yang dapat diuraikan oleh penulis, yang mana masih teryakini terdapat rentetan fungsi budaya yang dapat diuraikan oleh penulis-penulis lain.

Atas kesadaran terhadap budaya tersebut, Negara menerbitkan UU Nomor 15 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Berbagai kelangan menyadari banyaknya kekurangan dalam UU ini, bahkan hingga menimbulkan perdebatan. 

Namun, setidaknya undang-undang ini adalah pijakan awal untuk memanuskripkan Indonesia. Dengan bahasa lain, kita harus melakukan pencatatan tentang Indonesia dengan beragam budayanya dalam catatan negara. Suatu catatan formil yang memiliki daya legitimasi kuat, untuk mendeskripsikan desas desus budaya di masyarakat yang hanya sebatas lisan.

Dalam paparannya, Hilmar Farid, Direktorat Jendral Kebudayaan, pada acara sosialisasi UU Nomor 5 taun 2017 di Dewan Kesenian Jawa Timur, menyatakan bahwa kita memiliki sumber pendapatan alternatif berupa kekayaan budaya. Kita telah menghadapi krisis yang tidak dapat dihindarkan, yakni krisis energi dan Sumber Daya Alam, yang akan berpengaruh pada pendapatan negara. 

Namun, kita memiliki khasanah budaya yang melimpah yang seringkali tidak dapat terdokumentasikan secara resmi, hingga satu persatu entitas budaya kita diembat oleh negara lain. 

Kita memiliki sistem pengobatan tradisional, yang seringkali mendapat cap negatif, padahal sistem pengobatan kita, dan juga ramuan-ramuan yang dulu pernah dipakai oleh nenek moyang kita, banyak yang diangkut ke Luar Negeri, dilakukan riset untuk selanjut dibuat dalam kemasan kapsul dan tablet dan dijual kembali ke Indonesia. Seakan-akan kita harus beli sesuatu yang pernah diciptakan oleh nenek moyang kita dari orang lain. Kita punya hak cipta yang tidak pernah kita akui sendiri.

Selain itu, kita mengenal menu makanan yang hampir ada setiap hari di meja makan kita, yaitu tempe. Pembaca yang berumur 70 tahun keatas pun, penulis yakini sudah pernah merasakan lauk tersebut dimasa kecil. 

Dengan arti kata lain, tempe sudah dikenal jaman dahulu, bisa jadi jauh sebelum kolonial menguasai Indonesia. Namun, hak paten tempe bukan milik Indonesia, dari 19 catatan hak paten pembuatan tempe, 13 buah milik Amerika dan 6 buah milik Jepang. Belum ada catatan bahwa Indonesia memiliki hak paten pembuatan tempe. Ada cara produksi tempe yang unik di Indonesia, yakni dengan menginjak-injak agar kedelai dapat bersih. 

Barangkali, sekalipun dianggap kurang higienis, setidaknya hal tersebut adalah pembeda proses produksi dengan tempe di lain negara. Barangkali pula perlu dilakukan uji lab, karena keberadaan bakteri dalam makanan tidak seluruhnya negarif, sah-sah saja jika kita mencoba membuat hipotesa bahwa tempe yang dibuat dengan diinjak kaki memiliki kadar mikrobiotik yang bagus untuk pencernaan, dibandingkan proses pembuatan tempe yang dilakkan dengan cara mekanisasi. 

Cara produksi khas Indonesia inilah yang bisa dicatat dan diperkenalkan sebagai proses pembuatan tempe khas Indonesia.

Tentu kita tidak ingin kehilangan klaim atas makanan khas milik kita. Proses Emigrasi atau perpindahan penduduk dari Indonesia ke negara lain sekalipun hanya untuk bekerja, sedikit banyak, akan membawa kekhasan Indonesia ke negara tujuan. Kita tidak ingin kehilangan kekhasan jajanan Indonesia berupa nogosari, ote-ote, jemblem, getuk, utri, kicak, klepon, srabi, cucur, dan makanan berupa tahu tek, tahu campur, sate kelopo, lodeh, rawon, soto, bakso, dan jenis makanan lainnya. 

Penulis yakin, Kita memiliki 17 ribu lebih jenis makanan Indonesia. Kita tidak ingin 17 ribu kekhasan makanan tersebut diklaim negara lain. Oleh karanannya, kekahasan tersebut harus segera dicatat dalam catatan formal negara. Negera harus hadir dan UU Pemajuan Kebudayaan lah sebagai perangkatnya.

Kita memiliki kekhasan yang kita tinggalkan dengan pola konsumsi kita sendiri, contoh sederhana: Kita lebih percaya diri dengan menyantap makanan kecil dengan sebutan Dimsum. Dimsum berarti makanan kecil, yang terdiri dari bakpao, fungzau, dan siomai. 

Kita berat hati untuk makan jajanan Ote-ote. Padahal Dim Sum tidak lain adalah jajanan tradisional dari pedalaman Hongkong, dengan sebutan Diaxin. Ini adalah sekelumit contoh selain wajah Hanamasa dengan produk masakan jepangnya.

Kita memiliki ribuan daftar kue yang kita kelaskan sendiri dalam kelas inferior. Dari ribuan daftar kue tersebut sebenarnya dapat kita kemas dan sistemkan secara apik dan berkelas lalu kita jual ke pasar internasional. 

Kita sangat potensial memiliki kekhasan yang superior untuk kita jadikan sebagai santapan bertaraf internasional. Kita sangat berpeluang lolos seleksi kelas internasional dan sangat mampu bersaing dengan Dimsum. Namun kita tidak percaya diri. Maka, melalui UU Pemajuan Kebudayaan, kita renggut kembali kepercayaan diri kita yang telah melepuh tersebut.

Dalam dunia seni, adanya satu kesenian yang disabet negara lain adalah Reog. Sekalipun tidak ada sambung sejarahnya dengan Malaysia, namun negera tersebut berani klaim reog sebagai budaya asli Malaysia. 

Padahal keberadaan reog di Malaysia tidak lain adalah karena bawaan dari Tenaga Kerja Indonesia yang merantau ke Malaysia. Bahkan hampir-hampir wayang kulit diklaim pula oleh negara tersebut. Sebelum kita hanya bisa geram kepada negara tetangga, pencatatan terhadap objek pemajuan kebudayaan harus segera kita mulai.

Dalam dunia permainan anak, hati kita cukup miris dengan permainan anak berbasis gadget. Selain mengakibatkan ketergantungan, permainan hanya membentuk anak bersifat individual. Kita hampir kehilangan permainan anak "benteng-betengan". Suatu permainan yang mengajarkan kebersamaan untuk menjaga suatu wilayah. Suatu permainan yang dapat dijadikan sebagai bahan ajar gotong royong, kesetiaan dan kecerdikan. 

Sungguh suatu bahan ajar yang bagus. Masih ada permainan lain, yaitu cublak-cublak suweng, jamuran, petil lele, nekeran, lompat karet, petak umpet, gobak sodor, benteng-bentengan, engklek, Congklak dan lain sebagainya, yang kesemuanya merupakan kekhasan Indonesia, yang harus kita gali dan kita masukkan dalam arsip negara.

Ada 10 objek pemajuan kebudayaan dalam UU Nomor 5 tahun 2017: tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olah raga tradisional. 10 Objek pemajuan kebudayaan tersebut telah ada di masyakat, namun masih dalam bentuk lisan atau masih terbahasakan dengan bahasa tutur. UU Pemajuan kebudayaan mendorong adanya pendataan, pendokumentasian dan pengarsipan, dengan hasil akhir adalah Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu.

Dengan sistem pendataan kebudayaan terpadu tersebut, dapat dijadikan sebagai modal inspirasi berbagai bidang. Begitu halnya dengan dunia perfilman. Film adalah bahan ajar yang sangat efektif dan kekayaan budaya Indonesia dapat menjadi sumber inspiratif. Kita terlalu banyak disuguhkan pada produk lokal yang hanya mampu mengksplorasi tema cinta masa kini. 

Seharusnya, cerita dengan inspirasi prambanan, tangkuban prahu, banyuwangi, dan legenda nasional adalah cerita dengan mega inspirasi yang tidak kalah dengan Cleopatra. 

Kita memiliki legenda cinta yang tidak hanya cinta asmara, namun juga kisah cinta anak terhadap orang tua, semisal Malin Kundang, Legenda Batu yang bisa Menangis, ini menunjukkan bahwa budaya kita jauh dari sifat monoton, tapi variatif dan dinamis. Di samping itu, Indonesia juga menyimpan kisah heroik kerajaan-kerajaan besar Nusantara, yang hingga saat ini belum banyak dieksplorasi oleh industri film kita.

Dalam dunia industri kreatif, perpaduan antara kreatifitas, teknologi, dan kekayaan budaya adalah modal awal untuk menciptakan proyek fantastis kelas internasional. Sehingga PR untuk melakukan proteksi terhadap kekayaan budaya Indonesia dengan cara pendataan dan pendokumentasian harus didorong keras.

Krisis energy dan Sumber Daya Alam yang bakal kita hadapi di tahun-tahun mendatang, harus dipandang sebagai krisis yang tidak dapat melumpuhkan negara. Solusinya, kita harus menggali khasanah budaya sebagai inspirasi terbukannya industri kreatif dan industri-industri lain berkaitan. 

Dengan semangat menguri-uri budaya, dan semangat mengamankan pendapatan negara, maka eksistensi Indonesia dengan kakayaan khas yang dimiliki akan semakin kuat. Dengan berpangkal tolak ekonomi pada budaya, kita tidak akan menggantungkan modal material dari bangsa lain kecuali sebagai perbandingan. Karena budaya Indonesia yang kita jadikan sebagai modal pendapatan, adalah budaya yang kita gali sendiri dari masyarakat.

 UU Pemajuan Kebudayaan adalah jalan terang untuk mengatasi krisis energi dan sumber daya alam. UU Pemajuan Kebudayaan adalah petunjuk arah bagi nahkoda kapal negara untuk mengalihkan pelabuhan kesejahteraan pada suatu wilayah yang tidak banyak disentuh oleh negara-negara besar, itulah yang disebut dengan pelabuhan budaya. 

Pada intinya, UU Pemajuan Kebudayaan adalah alat untuk menggali kekayaan Indonesia. Dan sudah saatnya, kita mulai ikhtiar untuk melakukan "resolusi budaya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun