Kita berat hati untuk makan jajanan Ote-ote. Padahal Dim Sum tidak lain adalah jajanan tradisional dari pedalaman Hongkong, dengan sebutan Diaxin. Ini adalah sekelumit contoh selain wajah Hanamasa dengan produk masakan jepangnya.
Kita memiliki ribuan daftar kue yang kita kelaskan sendiri dalam kelas inferior. Dari ribuan daftar kue tersebut sebenarnya dapat kita kemas dan sistemkan secara apik dan berkelas lalu kita jual ke pasar internasional.Â
Kita sangat potensial memiliki kekhasan yang superior untuk kita jadikan sebagai santapan bertaraf internasional. Kita sangat berpeluang lolos seleksi kelas internasional dan sangat mampu bersaing dengan Dimsum. Namun kita tidak percaya diri. Maka, melalui UU Pemajuan Kebudayaan, kita renggut kembali kepercayaan diri kita yang telah melepuh tersebut.
Dalam dunia seni, adanya satu kesenian yang disabet negara lain adalah Reog. Sekalipun tidak ada sambung sejarahnya dengan Malaysia, namun negera tersebut berani klaim reog sebagai budaya asli Malaysia.Â
Padahal keberadaan reog di Malaysia tidak lain adalah karena bawaan dari Tenaga Kerja Indonesia yang merantau ke Malaysia. Bahkan hampir-hampir wayang kulit diklaim pula oleh negara tersebut. Sebelum kita hanya bisa geram kepada negara tetangga, pencatatan terhadap objek pemajuan kebudayaan harus segera kita mulai.
Dalam dunia permainan anak, hati kita cukup miris dengan permainan anak berbasis gadget. Selain mengakibatkan ketergantungan, permainan hanya membentuk anak bersifat individual. Kita hampir kehilangan permainan anak "benteng-betengan". Suatu permainan yang mengajarkan kebersamaan untuk menjaga suatu wilayah. Suatu permainan yang dapat dijadikan sebagai bahan ajar gotong royong, kesetiaan dan kecerdikan.Â
Sungguh suatu bahan ajar yang bagus. Masih ada permainan lain, yaitu cublak-cublak suweng, jamuran, petil lele, nekeran, lompat karet, petak umpet, gobak sodor, benteng-bentengan, engklek, Congklak dan lain sebagainya, yang kesemuanya merupakan kekhasan Indonesia, yang harus kita gali dan kita masukkan dalam arsip negara.
Ada 10 objek pemajuan kebudayaan dalam UU Nomor 5 tahun 2017: tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olah raga tradisional. 10 Objek pemajuan kebudayaan tersebut telah ada di masyakat, namun masih dalam bentuk lisan atau masih terbahasakan dengan bahasa tutur. UU Pemajuan kebudayaan mendorong adanya pendataan, pendokumentasian dan pengarsipan, dengan hasil akhir adalah Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu.
Dengan sistem pendataan kebudayaan terpadu tersebut, dapat dijadikan sebagai modal inspirasi berbagai bidang. Begitu halnya dengan dunia perfilman. Film adalah bahan ajar yang sangat efektif dan kekayaan budaya Indonesia dapat menjadi sumber inspiratif. Kita terlalu banyak disuguhkan pada produk lokal yang hanya mampu mengksplorasi tema cinta masa kini.Â
Seharusnya, cerita dengan inspirasi prambanan, tangkuban prahu, banyuwangi, dan legenda nasional adalah cerita dengan mega inspirasi yang tidak kalah dengan Cleopatra.Â
Kita memiliki legenda cinta yang tidak hanya cinta asmara, namun juga kisah cinta anak terhadap orang tua, semisal Malin Kundang, Legenda Batu yang bisa Menangis, ini menunjukkan bahwa budaya kita jauh dari sifat monoton, tapi variatif dan dinamis. Di samping itu, Indonesia juga menyimpan kisah heroik kerajaan-kerajaan besar Nusantara, yang hingga saat ini belum banyak dieksplorasi oleh industri film kita.