Mohon tunggu...
amuk nalar
amuk nalar Mohon Tunggu... Wiraswasta - advokat

berkarya untuk masa depan bangsa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

UU Pemajuan Kebudayaan sebagai Alat Menggali Kekayaan Indonesia

5 Februari 2018   09:46 Diperbarui: 5 Februari 2018   10:07 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Namun, setidaknya undang-undang ini adalah pijakan awal untuk memanuskripkan Indonesia. Dengan bahasa lain, kita harus melakukan pencatatan tentang Indonesia dengan beragam budayanya dalam catatan negara. Suatu catatan formil yang memiliki daya legitimasi kuat, untuk mendeskripsikan desas desus budaya di masyarakat yang hanya sebatas lisan.

Dalam paparannya, Hilmar Farid, Direktorat Jendral Kebudayaan, pada acara sosialisasi UU Nomor 5 taun 2017 di Dewan Kesenian Jawa Timur, menyatakan bahwa kita memiliki sumber pendapatan alternatif berupa kekayaan budaya. Kita telah menghadapi krisis yang tidak dapat dihindarkan, yakni krisis energi dan Sumber Daya Alam, yang akan berpengaruh pada pendapatan negara. 

Namun, kita memiliki khasanah budaya yang melimpah yang seringkali tidak dapat terdokumentasikan secara resmi, hingga satu persatu entitas budaya kita diembat oleh negara lain. 

Kita memiliki sistem pengobatan tradisional, yang seringkali mendapat cap negatif, padahal sistem pengobatan kita, dan juga ramuan-ramuan yang dulu pernah dipakai oleh nenek moyang kita, banyak yang diangkut ke Luar Negeri, dilakukan riset untuk selanjut dibuat dalam kemasan kapsul dan tablet dan dijual kembali ke Indonesia. Seakan-akan kita harus beli sesuatu yang pernah diciptakan oleh nenek moyang kita dari orang lain. Kita punya hak cipta yang tidak pernah kita akui sendiri.

Selain itu, kita mengenal menu makanan yang hampir ada setiap hari di meja makan kita, yaitu tempe. Pembaca yang berumur 70 tahun keatas pun, penulis yakini sudah pernah merasakan lauk tersebut dimasa kecil. 

Dengan arti kata lain, tempe sudah dikenal jaman dahulu, bisa jadi jauh sebelum kolonial menguasai Indonesia. Namun, hak paten tempe bukan milik Indonesia, dari 19 catatan hak paten pembuatan tempe, 13 buah milik Amerika dan 6 buah milik Jepang. Belum ada catatan bahwa Indonesia memiliki hak paten pembuatan tempe. Ada cara produksi tempe yang unik di Indonesia, yakni dengan menginjak-injak agar kedelai dapat bersih. 

Barangkali, sekalipun dianggap kurang higienis, setidaknya hal tersebut adalah pembeda proses produksi dengan tempe di lain negara. Barangkali pula perlu dilakukan uji lab, karena keberadaan bakteri dalam makanan tidak seluruhnya negarif, sah-sah saja jika kita mencoba membuat hipotesa bahwa tempe yang dibuat dengan diinjak kaki memiliki kadar mikrobiotik yang bagus untuk pencernaan, dibandingkan proses pembuatan tempe yang dilakkan dengan cara mekanisasi. 

Cara produksi khas Indonesia inilah yang bisa dicatat dan diperkenalkan sebagai proses pembuatan tempe khas Indonesia.

Tentu kita tidak ingin kehilangan klaim atas makanan khas milik kita. Proses Emigrasi atau perpindahan penduduk dari Indonesia ke negara lain sekalipun hanya untuk bekerja, sedikit banyak, akan membawa kekhasan Indonesia ke negara tujuan. Kita tidak ingin kehilangan kekhasan jajanan Indonesia berupa nogosari, ote-ote, jemblem, getuk, utri, kicak, klepon, srabi, cucur, dan makanan berupa tahu tek, tahu campur, sate kelopo, lodeh, rawon, soto, bakso, dan jenis makanan lainnya. 

Penulis yakin, Kita memiliki 17 ribu lebih jenis makanan Indonesia. Kita tidak ingin 17 ribu kekhasan makanan tersebut diklaim negara lain. Oleh karanannya, kekahasan tersebut harus segera dicatat dalam catatan formal negara. Negera harus hadir dan UU Pemajuan Kebudayaan lah sebagai perangkatnya.

Kita memiliki kekhasan yang kita tinggalkan dengan pola konsumsi kita sendiri, contoh sederhana: Kita lebih percaya diri dengan menyantap makanan kecil dengan sebutan Dimsum. Dimsum berarti makanan kecil, yang terdiri dari bakpao, fungzau, dan siomai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun