Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mafela Sutra Tenun Mandar

5 Oktober 2019   06:30 Diperbarui: 5 Oktober 2019   06:41 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rentang waktu cukup lama, saya akhirnya kembali menyelimuti diri dengan kain sutra Mandar. Menjejakkan kaki, di Bumi Todilaling. Wilayah persekutuan, 14 kerajaan di masa lampau. Tujuh kerajaan di hulu "pitu ulunna salu", serta tujuh kerajaan di muara "pitu baqbana binanga". 

Kini, mewujud Provinsi Sulawesi Barat. Tanah lahir tokoh internasional yang berintegritas, sekaliber; Basri Hasanuddin, "pendekar hukum" Baharuddin Lopa, "panglima puisi" Husni Djamaluddin.

Saya sedikitnya, dekat mengenal daerah dan kultur masyarakat di sana, ketika awal tahun 2000-an berbulanan di sana, jadi "lampiran" sejumlah tokoh yang berhasrat agar ex-Afdeling Mandar yang didamba sejak 1960-an, mewujud provinsi, melepas dari Provinsi Sulawesi Selatan. 

Peran saya, beserta sekian anak muda, menggawangi "Mandar Pos". Media penjaga obor perjuangan, agar sumbunya terus membara. Menyinari perjuangan - meski dicibir - jangan pernah meredup.

Menangi kaccang tunggara, menangi na sumobal. Tanda mokau, tuali di lolangan. Makin angin tenggara keras bertiup, layar kian mengembang. Penanda, pantang surut berbalik dari laut luas. Bait "kalindaqdaq" Mandar itu menggema di gedung Assamalewwang Majene, menjadi pelecut. 

Perjuangan, pun membuah Provinsi Sulawesi Barat. "Mikkendeq Diattonganan", semula motto Mandar Pos - berdiksi yang sama - kelak mewujud motto provinsi ini, "Mellete Diattonganan".

***

Sekali lagi, menjelang 5 Oktober 2019 - peringatan 15 tahun lahirnya provinsi ini - saya kembali mendatangi bekas Kerajaan Pasokorang ini. Saat melintas di gerbang pembatas wilayah, sontak saya tersenyum geli, teringat pernyataan seorang Mara'dia, bangsawan Mandar dihormati pada masa itu. 

Toapa di'o? kenapa ia sepantang itu tak surut berjuang demi daerah ini. "Andai belum berkeluarga, suruh ia pilih gadis Mandar, dari batas Paku ke Suremana, saya yang melamarkan".

Meski tak berjodoh perempuan Mandar. Meski sedikitpun tak bertetes genetika Mandar. Tetapi kala sejumlah orang di Mandar, coba mentahbiskan saya sebagai, "orang Mandar yang lahir dari genetika lain di daerah lain". Pun, saya mengamininya. 

Sebab batin saya tahu, itu bukan kalimat "atelis", tapi "verba" yang bersifat "resiprokal", kalimat berbalasan dari sebuah proses. Kalimat yang bersandar di hulu pada fakta. Sumbernya bermuara dari proses yang lebih awal menyertai.

Berbukti, tiap kali berada di sana, rasa-rasanya tak lebih kurang, kadarnya serasa sedang berada di kampung sendiri. Bertemu saudara sendiri. Mengingatkan saya, sebait "kalindaqdaq", pernah dimuat "Mandar Pos", ditulis budayawan Syarbin Syam. 

Saya coba mengutipnya untuk berbalas pantun. Mane pissangi ulete turunang di kappummu, tappaq mauaq, tembaleq turunaq-u. Baru sekali itu kuinjakkan kaki di kampungmu, sesegera kunyatakan semoga ini kampung halamanku.

***

Menginjakkan kaki di Lita'na Mandar, bumi Todilaling itu, benak saya terus bertanya-tanya, tiap kali setelah melintasi Kota Wonomulyo, memasuki wilayah kampung Campalagian, terus hingga memasuki Kota Majene, entah gerangan musabab apa, selalu saja subjektifitas di batiniah saya, sontak merasakan hadirnya semacam resonansi baru, berbeda dari sebelumnya. Saya menemui semacam getaran gelombang, jika inilah Mandar sesungguhnya, dalam arti "value" peradaban.

Maafkan setingginya andai saya keliru merenggut simpul resonansi itu. Boleh jadi, akibat benak saya sangat minim paham, geopolitik pusaran kekuasaan 14 kerajaan yang bersekutu, sehingga benak saya tetap terhegomoni dari ragam pustaka, soal derasnya pertentangan di wilayah itu - terekam dalam lontara' Mandar tentang kuatnya sanksi dalam setiapkali perjanjian - sebelum I Manyambungi - Todilaling - kembali ke negerinya, sebagai hero. Penyelamat wilayah Balanipa.

Di balik kebimbangan, benak saya coba berandai-andai, jika bukan I Manyambungi, maka maha guru Tosalama' Muhammad Thahir, Imam Lapeo, adalah penanam berkah kampung, "ma'appu banua", di wilayah ex-Kerajaan Balanipa itu. 

Pemantik air di pusaran mata angin, menarik garis pembatas kewilayahan, berharap berkah sekira penduduk negeri di dalamnya tenteram, damai dalam keberadaban. Dan karena itu, melintas di batas garis itu, resonansinya sangatlah terasa.

***

Di sini, di wilayah ex-Kerajaan Balanipa inilah, alam mempertemukan saya dengan sekian orang-orang yang kelak mewujud - tak lebih kurang dari -- saudara sendiri. Mereka adalah orang-orang yang mula saya keliru memahami. 

Belakangan, saya sedikit tahu jika mereka lebih yaqin konteks dibanding teks. Ingin tahu yang tersirat dibanding tersurat. Mereka lebih mendalami dunia kecil secara mikrokosmos, yaitu manusia dan sifat kemanusiaan pada takaran kecil di jagat raya ini.

Akibat itulah, andai berada di wilayah ini, usah takjub jika menemui hal aneh jika ditakar secara teks. Misalnya, bagaimana bisa dimengerti jika siang hari bertemu lelaki tua keliling kampung, ia menenteng lampu petromaks yang menyala, meski matahari terang benderang. 

Bagaimana bisa dimengerti, anak yang gusinya bengkak, dukun tidak berbuat apa, hanya disuruh meminta maaf ke pemilik pagar, sebab tak seizin dirinya, kisi pagar bambu dicabuti si anak dijadikan tusuk gigi.

Kondisi sedemikian itu kata Carl Gustav Jung, lewat buku "Man and His Symbols" (2004), bahwa dunia ini, memang sesungguhnya dilumuri alam bawah sadar, bahasanya berupa symbol, sebab itu kehidupan imajinatif mesti ditanggapi serius sebagai karakteristik paling khas manusia. 

Atas dasar itulah, saya tak takjub lagi, jika di Lita'na Mandar, kini bertumbuh spirit literasi. Bukankah ilmu linguistik mengajarkan, suatu wacana akan utuh jika konteks melibatkan teks, juga ko-teks.

***

Saat pamit pulang, langkah kaki saya terjegat teriakan seorang anak perempuan. Diserahkannya sehelai mafela, tenunan - asal kata text -  sutra khas Mandar motif "sure datu". "Terimalah, Om. Me-Mandar-kan dirilah selamanya!", seperti dipesan ayahnya. 

Sahabat yang tak sempat bersua. Kini tak bisa melihat. Teringat "jampi-jampi" dibisik maha guru kehidupan saya di Mandar. "Tak usah takut pada kegelapan, sebab dari kegelapanlah kau akan temui sebersit cahaya terang".

Palopo, 30 September 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun