Bagaimana bisa dimengerti, anak yang gusinya bengkak, dukun tidak berbuat apa, hanya disuruh meminta maaf ke pemilik pagar, sebab tak seizin dirinya, kisi pagar bambu dicabuti si anak dijadikan tusuk gigi.
Kondisi sedemikian itu kata Carl Gustav Jung, lewat buku "Man and His Symbols" (2004), bahwa dunia ini, memang sesungguhnya dilumuri alam bawah sadar, bahasanya berupa symbol, sebab itu kehidupan imajinatif mesti ditanggapi serius sebagai karakteristik paling khas manusia.Â
Atas dasar itulah, saya tak takjub lagi, jika di Lita'na Mandar, kini bertumbuh spirit literasi. Bukankah ilmu linguistik mengajarkan, suatu wacana akan utuh jika konteks melibatkan teks, juga ko-teks.
***
Saat pamit pulang, langkah kaki saya terjegat teriakan seorang anak perempuan. Diserahkannya sehelai mafela, tenunan - asal kata text - Â sutra khas Mandar motif "sure datu". "Terimalah, Om. Me-Mandar-kan dirilah selamanya!", seperti dipesan ayahnya.Â
Sahabat yang tak sempat bersua. Kini tak bisa melihat. Teringat "jampi-jampi" dibisik maha guru kehidupan saya di Mandar. "Tak usah takut pada kegelapan, sebab dari kegelapanlah kau akan temui sebersit cahaya terang".
Palopo, 30 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H