Rentang waktu cukup lama, saya akhirnya kembali menyelimuti diri dengan kain sutra Mandar. Menjejakkan kaki, di Bumi Todilaling. Wilayah persekutuan, 14 kerajaan di masa lampau. Tujuh kerajaan di hulu "pitu ulunna salu", serta tujuh kerajaan di muara "pitu baqbana binanga".
Kini, mewujud Provinsi Sulawesi Barat. Tanah lahir tokoh internasional yang berintegritas, sekaliber; Basri Hasanuddin, "pendekar hukum" Baharuddin Lopa, "panglima puisi" Husni Djamaluddin.
Saya sedikitnya, dekat mengenal daerah dan kultur masyarakat di sana, ketika awal tahun 2000-an berbulanan di sana, jadi "lampiran" sejumlah tokoh yang berhasrat agar ex-Afdeling Mandar yang didamba sejak 1960-an, mewujud provinsi, melepas dari Provinsi Sulawesi Selatan.
Peran saya, beserta sekian anak muda, menggawangi "Mandar Pos". Media penjaga obor perjuangan, agar sumbunya terus membara. Menyinari perjuangan - meski dicibir - jangan pernah meredup.
Menangi kaccang tunggara, menangi na sumobal. Tanda mokau, tuali di lolangan. Makin angin tenggara keras bertiup, layar kian mengembang. Penanda, pantang surut berbalik dari laut luas. Bait "kalindaqdaq" Mandar itu menggema di gedung Assamalewwang Majene, menjadi pelecut.
Perjuangan, pun membuah Provinsi Sulawesi Barat. "Mikkendeq Diattonganan", semula motto Mandar Pos - berdiksi yang sama - kelak mewujud motto provinsi ini, "Mellete Diattonganan".
***
Sekali lagi, menjelang 5 Oktober 2019 - peringatan 15 tahun lahirnya provinsi ini - saya kembali mendatangi bekas Kerajaan Pasokorang ini. Saat melintas di gerbang pembatas wilayah, sontak saya tersenyum geli, teringat pernyataan seorang Mara'dia, bangsawan Mandar dihormati pada masa itu.
Toapa di'o? kenapa ia sepantang itu tak surut berjuang demi daerah ini. "Andai belum berkeluarga, suruh ia pilih gadis Mandar, dari batas Paku ke Suremana, saya yang melamarkan".
Meski tak berjodoh perempuan Mandar. Meski sedikitpun tak bertetes genetika Mandar. Tetapi kala sejumlah orang di Mandar, coba mentahbiskan saya sebagai, "orang Mandar yang lahir dari genetika lain di daerah lain". Pun, saya mengamininya.
Sebab batin saya tahu, itu bukan kalimat "atelis", tapi "verba" yang bersifat "resiprokal", kalimat berbalasan dari sebuah proses. Kalimat yang bersandar di hulu pada fakta. Sumbernya bermuara dari proses yang lebih awal menyertai.