Dengan renegosiasi yang dilakukan tim Rizal Ramli Ramli itu, harga listrik swasta bisa ditekan menjadi di bawah US$ cents 4 per kWh. “Total kewajiban pemerintah dan PLN turun drastis dari US$ 80 miliar menjadi US$ 35 miliar,” kata Rizal Ramli dengan nada lega.
Apakah selesai sampai di situ? Ternyata belum. Persoalan harga jual listrik swasta ke PLN memang sudah rampung. Tapi, ada problem lain yang dihadapi PLN yang menuntut keputusan yang cepat dan inovatif. Perlu kebijakan dan langkah terobosan.
REVALUASI ASET PLN
Direksi PLN dirombak. Eddie Widiono menjadi Dirut menggantikan posisi Kuntoro Mangkusubroto. Selang beberapa pekan setelah dilantik, Eddie bersama direksi PLN menemui Rizal Ramli di kantornya. Mereka memaparkan situasi keuangan PLN yang sangat gawat: Aset PLN hanya Rp.50 Triliun, sedangkan modalnya minus Rp.9 Triliun.
Jadi, kalau dilihat dari posisi keuangannya, secara teknis PLN sudah bangkrut. PLN tidak bisa meminjam uang ke bank untuk membiayai modal kerja. Juga tak mungkin menerbitkan obligasi karena posisi keuangannya berantakan. “Bagaimana usulan PLN untuk mengatasi hal ini?” tanya Rizal Ramli kepada direksi PLN.
Eddie meminta agar pemerintah mengambil-alih utang PLN dan menyuntikannya menjadi modal baru dalam bentuk Penyertaan Modal Pemerintah (PMP). Jumlah dana yang diminta Rp.26,9 Triliun. Rizal Ramli menolak usulan itu.
“Saya tidak setuju, kecuali kalau saudara-saudara mau mengundurkan diri. Sebab, nanti akan menjadi preseden. Setiap kali BUMN mengalami kerugian, kemudian minta duit dari pemerintah. Kalau seperti itu lebih baik direksi BUMN diganti saja oleh tukang becak: tinggal bikin utang setelah itu minta uang kepada pemerintah untuk menyelelesaikan utang itu,” lontar Rizal Ramli.
Lalu, Rizal Ramli pun memberikan solusi berupa langkah terobosan, yaitu dengan meminta PLN melakukan revaluasi asetnya. Soalnya, banyak aset PLN berupa tanah dan bangunan yang belum dilakukan revaluasi selama belasan tahun. Selain itu, banyak generator dan jaringan distribusi PLN yang dibeli sebelum krisis dengan kurs di bawah Rp 2.500/US$.
Padahal, pada tahun 2001, kurs rupiah sudah mencapai Rp 10.000/US$. Jadi, ada selisih sekitar 7.500. Semula direksi PLN menolak melakukan revaluasi aset karena akan memakan waktu lama. Mereka juga kuatir jika asetnya direvaluasi dan menggelembung maka kinerja mereka akan merosot. Return on equity dan return on asset-nya PLN akan anjlok. Tentu saja hal itu akan membuat kinerja direksi PLN menjadi memburuk. Selain itu, pimpinan PLN juga kuatir tidak bisa membayar pajak revaluasi asetnya. Sebab, begitu direvaluasi, akan terdapat selisih nilai aset yang besar sekali, dan itu merupakan objek pajak yang harus dibayar. Hal itu tentu saja akan mengganggu cash flow dan operasional PLN.
“Laksanakan saja revaluasi aset. Soal pajaknya, nanti akan saya urus ke Departemen Keuangan,” kata Rizal Ramli ketika itu.
Setelah dilakukan revaluasi aset oleh PT. Sucofindo, aset PLN terbukti melambung dari Rp. 52 Triliun menjadi Rp.202 Triliun. Sedangkan modalnya yang semula minus Rp.9,1 Triliun, naik pesat menjadi Rp.119,4 Triliun. PLN pun akhirnya sudah bankable. Tidak perlu lagi meminta duit ke pemerintah untuk operasionalnya, karena bisa meminjam ke bank atau menerbitkan obligasi. Persoalannya, kini tinggal mengurus pajaknya.