Sehingganya, sebagai Ketua Tim Keppres 133/2000, Rizal Ramli pun bekerja ekstra keras untuk menyelesaikan restrukturisasi PLN dan renegosiasi kontrak-kontrak pembelian listrik swasta – bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan menteri-menteri terkait.
Dan sejak itulah, Rizal Ramli mendapat tekanan dari berbagai penjuru untuk membatalkan renegosiasi kontrak jual beli listrik swasta yang sudah diteken lewat PPA tahun 1996.
Dalam proses renegosiasi ini, Rizal Ramli mendapatkan tekanan yang luar biasa besar dari sejumlah duta besar negara-negara asal kreditor, dari anggota kongres, senator, dan lembaga keuangan anggota konsorsium kreditor. “Mereka datang silih berganti kepada pemerintah Indonesia untuk tidak mengubah kontrak dengan alasan kontrak itu adalah sesuatu yang suci. Padahal kontrak tersebut cacat hukum karena di-mark up dan bernuansa KKN,” kata Rizal Ramli.
Meski tekanan datang bertubi-tubi, termasuk dari pejabat tinggi sebuah pemerintahan negara adi daya – yang ternyata merupakan komisaris di perusahaan listrik yang mendapat kontrak dari PLN, Rizal Ramli sama sekali tidak gentar.
Berbagai cara ditempuh Rizal Ramli untuk mendapatkan harga jual listrik swasta yang lebih murah, antara lain, dengan meminta perwakilan Bank Dunia dan IMF di Jakarta untuk ikut membantu negosiasi, baik secara teknis maupun bantuan lobby. “Secara informal saya mengundang makan siang perwakilan Bank Dunia dan IMF antara lain Anoop Singh (Direktur Asia Pasifik IMF), John Dodsworth (Kepala Perwakilan IMF di Indonesia), Mark Baird (Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia),” kata Rizal Ramli.
Hasilnya ternyata mengecewakan. Perwakilan dari IMF dan Bank Dunia memang datang memenuhi undangan Rizal Ramli. Sayangnya, mereka tidak bisa memberikan bantuan yang diharapkan. “Kami bersimpati kepada bangsa dan rakyat Indonesia yang harus dibebani tarif listrik hingga dua kali lipat dari tarif internasional. Tapi kami minta maaf tidak bisa membantu Indonesia karena menyangkut perusahaan-perusahaan multinasional dan bank-bank besar di negara-negara maju. Juga menyangkut tokoh-tokoh penting di negara maju,” kata Anoop Singh, sebagaimana dituturkan Rizal Ramli.
Kandas sudah harapan untuk mendapatkan bantuan dari orang-orang di lembaga keuangan internasional itu. Namun Rizal Ramli tidak menyerah. Ia berpikir keras, lalu kemudian ia pun mendapat ide segar. Yakni, menjelaskan berbagai praktik KKN dan mark up yang dilakukan perusahaan multinasional kepada koran berwibawa Wallstreet Journal, yang terbit di Asia dan Washington (Amerika).
“Saya membeberkan fakta-fakta praktik KKN itu. Saya berpandangan, jika sebuah kontrak sudah ditandatangani tapi mengandung unsur KKN, maka terbuka kemungkinan untuk direnegosiasi,” kata Rizal Ramli.
Kasus praktik KKN proyek listrik swasta di Indonesia kemudian terekspos secara internasional. “Negara-negara besar dan lembaga multinasional sering gembar-gembor menasihati negara dan pihak lain untuk tidak melakukan KKN, tapi begitu menyangkut perusahaan multinasional dari negara besar, mereka tutup mata, tutup mulut, dan tutup telinga,” kata Rizal Ramli.
Berita di Wallstreet membuat geger. Ada usaha dari perusahaan listrik di negara maju untuk menyeret wartawan Wallstreet ke pengadilan. Tapi, karena fakta yang diungkapkan akurat dan ditopang dengan bukti kuat, mereka tidak jadi melangkah ke pengadilan.
Dengan latar belakang seperti itu, akhirnya mereka bersedia melakukan negosiasi ulang. Tim Keppres 133/2000 yang dipimpin Rizal Ramli pun mampu menyelesaikan 16 dari 27 kontrak pembelian listrik swasta – sisanya diteruskan oleh Tim Ekonomi Kabinet Megawati yang menggantikan Gus Dur sebagai Presiden RI.