Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karena Pernah Selamatkan PLN, Makanya Rizal Ramli Paham Ada Apa “di Balik” Proyek 35 GW Sekarang

6 Juni 2016   00:01 Diperbarui: 6 Juni 2016   03:15 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika berpegang pada kontrak PPA itu, PLN mesti merogoh koceknya dalam-dalam. Padahal, kemampuan keuangan PLN pada masa krisis ekonomi justru sangat jeblok. Bayangkan, pada tahun 2000, selama semester pertama saja PLN didera kerugian Rp 11,58 Triliun. Tahun 2001, kerugian PLN diproyeksikan melambung hingga Rp 24 Triliun. PLN pun akhirnya “lempar handuk”  karena tak sanggup membayar ke perusahaan listrik swasta.

Begitu diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada Agustus 2000, Rizal Ramli langsung menetapkan pembenahan listrik swasta sebagai prioritas utama. “Implikasinya akan sangat luas terhadap beban utang Indonesia,” kata Rizal Ramli dalam buku yang ditulisnya: “Lokomotif Perubahan, Indonesia yang Lebih Baik”.

Memang, saat itu, seiring dengan krisis ekonomi yang mengguncang negara kita, beban utang luar negeri melonjak drastis, hingga mencapai US$ 150-160 Miliar. Nah, kemelut listrik swasta, berpotensi menambah beban utang Indonesia sebesar US$ 80 Miliar. “Jika utang pemerintah ditambah kewajiban kepada perusahaan listrik swasta, secara teknis Indonesia sudah bangkrut,” kata Rizal Ramli.

Situasi rakyat memang kelihatan tenang-tenang saja karena rakyat samasekali tak tahu “isi terdalam” dari setiap problem yang dihadapi oleh negara. Dan problem PLN ketika itu adalah sungguh merupakan persoalan yang sangat gawat, dan itu harus dihadapi oleh Rizal Ramli.

Makanya, Rizal Ramli pun bergerak cepat, mengundang Komite Restrukturisasi PPA yang dipimpin Dirut PLN Kuntoro Mangkusubroto ke kantornya. Rizal Ramli meminta, Komite Restrukturisasi PPA merenegoisasikan harga jual listrik swasta ke PLN. “Saya minta harga listrik swasta itu sesuai dengan standar internasional, sekitar US$ cents 3,5 per kWh,” ujarnya.

Rizal Ramli menyadari, permintaan itu tidak akan mudah dipenuhi. Soalnya, harga listrik swasta yang mencekik leher itu terjadi karena ada unsur mark up dan KKN (korupsi, kolusi, serta nepotisme). Dan memang, jauh sebelum duduk di pemerintahan, Rizal Ramli sebetulnya sudah mengkritisi proyek listrik swasta itu. Berbagai keanehan PPA itu kemudian menjadi laporan utama di harian ekonomi-bisnis terkemuka The Asian Wallstreet Journal. Lapornnya dimuat selama empat hari berturut-turut.

Menurut Rizal Ramli, perusahaan listrik multinasional yang memberikan saham kosong kepada keluarga dan kroni Cendana (Soeharto) tidak mau memberikan secara gratis begitu saja. Sebagai kompensasi atas pemberian saham kosong itu, mereka meminta harga jual listriknya menjadi jauh lebih tinggi dari standar internasional. Dan itu dipenuhi dalam PPA. Tim Komite Restrukturisasi PPA mengajukan usulan untuk mendapatkan harga jual US$ cents 3,5, maka masa kontrak listrik swasta itu harus diperpanjang dari semula 30 tahun menjadi 40 tahun atau lebih panjang lagi.

Karena di satu sisi sangat memahami begitu besarnya kepentingan dan keuntungan yang akan disedot oleh para “mafia” tersebut, juga di sisi lain bisa dipastikan akan membuat PLN serta rakyat hanya merasakan kerugian yang besar, maka usulan Kuntoro Mangkusubroto yang mengusulkan kontrak listrik diperpanjang 20 hingga 30 tahun itu pun dianggap sangat ngawur.

Olehnya itu, usulan tersebut pun ditolak mentah-mentah oleh Rizal Ramli. Sebab, jika diterima, maka beban keuangan yang mesti ditangung akan berlipat ganda.

“Bukan begitu caranya bernegosiasi. Coba hitung ulang nilai proyek yang sebenarnya. Kemudian tetapkan jangka waktunya, nanti akan ketemu berapa harga jual listrik per kWh-nya. Jadi, yang harus direnegosiasi adalah harga proyeknya yang bernuansa KKN dan penuh mark up itu,” kata Rizal Ramli.

Tim ekonomi yang dikomandani Rizal Ramli menolak usulan pengurangan harga dengan hanya memperpanjang jangka waktu PPA, karena cara itu hanya akan menambah beban PLN. Ia bersikukuh agar perusahaan listrik swasta itu menurunkan harga proyeknya, sehingga otomatis akan diperoleh harga jual listrik swasta yang sesuai dengan standar internasional. Rizal Ramli membaca adanya anggaran yang diduga kuat hanya untuk membiayai KKN dan mark up-nya, sehingga Rizal Ramli ngotot agar biaya KKN tersebut harus segera diamputasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun