Lucunya lagi, kedua judul yang berbeda tersebut pada beberapa paragraf terdapat tulisan yang sama persis rangkaian kalimatnya. Di antaranya kalimat, “Jokowi mengaku kecewa karena dwelling time di Indonesia mencapai enam-tujuh hari.” Padahal di dashboard online Pelabuhan Tanjung Priok jelas-jelas saat ini menunjukkan dwelling time sudah berada pada posisi normal 3,6 hari.
Apakah Romo Benny melalui Metro TV dan juga dengan Tempo.co atau dengan pihak lainnya tersebut merupakan bagian dari bentuk “pengerahan perlawanan” yang telah di-setting oleh kelompok JK atau tidak, entahlah??? Juga apakah hal-hal tersebut merupakan upaya balas dendam atas ditetapkannya salah satu orang JK (RJ Lino) atau tidak, entahlah???
Yang jelas penayangan Metro TV dan Tempo.co tersebut cukup terkesan manipulatif, sehingga sangat patut dicurigai sekaligus diwaspadai sebagai salah satu upaya penzaliman sekaligus kejahatan dari kubu JK guna menghentikan langkah para tokoh perjuangan dan pergerakan seperti Rizal Ramli yang memang sangat aktif menghalau “nafsu” sang pengusaha yang juga sebagai penguasa itu.
Pernah menonton salah satu Film James Bond berjudul Tomorrow Never Dies? Secara umum kira-kira seperti itulah yang sedang dilakukan oleh kelompok JK.
Dalam film tersebut, si jahat bernafsu lalu berupaya menguasai dunia, bukan dengan menggunakan kekerasan, melainkan dengan menguasai media komunikasi massa. Pesan transparan yang diberikan oleh film ini, bahwa kita hidup dalam dunia yang semakin terancam oleh pihak-pihak pengendali ‘kekuasaan media’, yaitu mereka yang menguasai jaringan televisi, studio produksi film, dan media komputer, yang tertarik membangun konspirasi untuk menguasai apa saja menurut seleranya.
Di saat seperti itu, insan Pers benar-benar merasa merdeka namun kehilangan idealisme dan nurani, sehingga media massa pun tak lagi segan-segan menjadi “pelacur” untuk menjadi “budak” sang pengusaha yang juga berlabel penguasa itu.
Tentang penggambaran tersebut, Jakob Oetama selaku pendiri Kompas Gramedia pernah berpesan, “Kemerdekaan Pers jangan hanya mengutamakan freedom from, tetapi juga harus diimbangi freedom for, yaitu kemerdekaan Pers untuk rakyat. Membela kepentingan rakyat sudah jadi naluri dan nurani wartawan di mana-mana.”
Jujur, pesan Jakob Oetama tersebut secara kebetulan menjadi motivasi saya mencintai profesi sebagai wartawan yang saya tekuni sejak tahun 1990-an. Di samping itu, saya juga punya ideologi (pandangan) dan alasan tersendiri mengapa harus memilih “hidup” sebagai seorang wartawan yang saya yakini sebagai pekerjaan yang sangat mulia itu.
Menurut pandangan saya, bekerja dalam penerbitan media massa ibarat melakukan “pekerjaan seperti yang dilakukan oleh nabi-nabi”, yakni sama-sama menyebarkan dan menyampaikan “ayat-ayat” kebenaran untuk menjadi manfaat bagi seluruh makhluk. Bedanya, nabi-nabi menuliskan “kebenaran” itu di dalam sebuah media yang disebut kitab (Kitab kaum Islam disebut Quran, bahasa Inggrisnya adalah Koran), dan para nabi itulah yang bertindak sebagai “pemimpin redaksi” atas kitab masing-masing.
Perbedaan lainnya, para nabi menerbitkan kitab (medianya) hanya dalam sekali periodik penerbitan, selanjutnya akan terus dicetak dalam jumlah oplah yang tak terbatas. Sedangkan para penerbit media massa (cetak) punya priodik penerbitan yang bervariasi (harian, mingguan, bulanan, dan sebagainya). Tetapi, yang menjadi inti dalam hal ini adalah hendaknya sebagai insan Pers ataupun pemilik media massa untuk selalu memberi “petunjuk” ke arah kebenaran, bukan pembenaran menurut selera dan rekayasa dari kelompok tertentu yang justru akan memunculkan tragedi-tragedi baru yang mengenaskan dan juga menjerat korban-korban yang tak bersalah.
Jadi, bekerja sebagai insan Pers sesungguh memang sangatlah mulia jika dilakukan dengan benar. Sebaliknya, akan menjadi pekerjaan yang sangat dilaknat Tuhan apabila media massa dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk melakukan penzaliman terhadap individu atau kelompok yang memperjuangkan kebenaran.