Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konvensi Rakyat: “Suara Algojo Vs Suara Rakyat”

15 November 2013   13:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:08 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah rakyat harus selalu pasrah dengan kondisi seperti itu? Tidak! Karena hal-hal memilukan seperti itulah di antaranya yang memotivasi sejumlah tokoh nasional untuk menggelar Konvensi Rakyat. Kesempatan kita salah satunya untuk mengubah negeri ini terletak di ajang Pemilu 2014.

Untuk menuju ke Pemilu 2014 itu, maka kita harus aktif mendukung kegiatan yang berasal dari rakyat, bukan dari parpol korup. Segeralah kita mendukung sejumlah tokoh nasional itu, yang memiliki tekad yang sama dengan tekad kita. Yaitu mencari pemimpin (pasangan Capres) yang benar-benar mampu meMERDEKAkan negara ini dari SEGALA BENTUK CENGKERAMAN PENJAJAJAH yang mengakibatkan bangsa kita menjadi tetap miskin dan terbelakang.

Sehingga sekali lagi, “audisi” mencari capres 2014 melalui konvensi rakyat ini sangat patut kita dukung. Sebab, hanya dengan melalui konvensi seperti inilah demokrasi bisa benar-benar hidup dan berfungsi. Yakni suara rakyat betul-betul dihargai sebagai “suara Tuhan (Vox populi, vox dei) ” pemilik kedaulatan dan kekuasaan awal dalam sebuah negara yang berdemokrasi.

Persoalan utama yang dihadapi konvensi rakyat ini adalah memang terletak pada undang-undang yang berlaku hanya mengizinkan parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebagai pihak yang berhak memgusulkan pasangan capres.

Namun, undang-undang macam itulah yang sepertinya memang sengaja diberlakukan agar yang bukan “warga parpol” TIDAK BERHAK dicalonkan sebagai pasangan capres, meski yang bersangkutan adalah warga negara Indonesia yang sangat layak untuk maju sebagai capres.

Jika undang-undang seperti itu yang tetap dipertahankan, maka Indonesia tidak pantas disebut negara demokrasi. Mungkin memang lebih tepat jika dikatakan democrazy dan pada akhirnya menjadi betul-betul democrashing? Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Demokrasi adalah: “pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara”

Dari pengertian demokrasi tersebut menyiratkan sebuah penekanan tentang pentingnya “keadilan” dan “kemerdekaan” (lihat pembukaan UUD 1945) yang harus diimplementasi dalam persamaan hak dan kewajiban. Namun mengapa kemudian ada undang-undang yang seakan sengaja dilahirkan untuk dijadikan sebagai “algojo” guna memasung seseorang (di luar parpol) agar tak bisa menyalurkan haknya sebagai warga negara yang hidup di alam demokrasi...??? Sungguh sebuah demokrasi yang DISKRIMINATIF, yang mengundang orang bisa menjadi gila (democrazy-discriminatory).

Undang-undang yang diskriminatif seperti itu bisa saya sebut sebagai sebuah KRIMINALISASI POLITIK dalam negara yang menganut paham demokrasi. Ini sama halnya jika diibaratkan dengan sebuah negara monarki-absolut yang menghilangkan hak keturunan raja untuk kembali berkuasa.

Dan saksikan saja akibat dari kriminalisasi politik dalam negara yang menganut paham demokrasi tetapi sesungguhnya melakukan diskriminatif itu. Yakni, sungguh saat ini benar-benar terjadi kriminalitas (terutama korupsi), bukan...?

Mengapa??? Ya.. karena undang-undang yang mengandung unsur diskriminasi itu selain bertindak sebagai algojo seperti yang saya sebutkan di atas, juga di sisi lain bisa menjadi “dewa” yang bisa memuluskan masuknya seorang penjahat menjadi penguasa (Kepala negara dan atau kepala daerah). Sungguh sangat mengerikan..!?!?!?

Lalu akankah memang suara “Algojo (juga suara dewa) itu” bisa mengalahkan “suara rakyat (yang juga adalah suara Tuhan)..???

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun