Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rizal Ramli, Capres Ideal 2014! ini Alasannya! (Bagian 1)

13 Juni 2013   01:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:07 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun dalam keadaan yang serba sulit itu, RR mendapat pertolongan dari teman-temannya. Tetapi lama kelamaan RR merasa malu juga. “Waktu itu saya berpikir, lebih baik saya berhenti kuliah sajalah?!?” ujar RR.

Di saat RR telah hampir memilih untuk tidak lagi melanjutkan kuliah, pikiran “bisnis” RR spontan bergerak. “Tiba-tiba saya sadar, kenapa saya nggak jadi penerjemah saja, Bahasa Inggris saya kan lumayan bagus,” ujarnya.

Kebetulan, kata RR, ketika itu di Bandung banyak dosen dan mahasiswa yang berhubungan dengan tugas-tugas artikel ilmiah dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia atau sebaliknya dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris.

RR mengaku mengawali profesinya sebagai penerjemah terbilang susah, sebab butuh sekitar 2 jam untuk 1 halaman. Namun karena telah terbiasa, akhirnya bisa cepat, yakni 10 menit saja untuk satu halaman.

“Ketika makin banyak pesanan yang minta diterjemahkan, saya pun mengajak teman sesama orang miskin sebagai partner (RR tertawa). Saya yang membacakannya, dan dia yang mengetik. Dan saat itu waktu bisa saya tekan menjadi lebih cepat, yakni tujuh menit satu halaman,” katanya seraya menambahkan, bahwa bekerja sebagai penerjemah hanya dilakukannya usai Jumatan hingga Sabtu sore.

Ketika itu nama Rizal Ramli tiba-tiba menjadi populer karena bisa melanjutkan kuliah dan membiayai hidupnya secara mandiri melalui profesinya sebagai penerjemah. “Saya sangat bersyukur karena Tuhan selalu memberikan jalan kepada saya untuk maju, dan tidak mudah menyerah terhadap kondisi yang sesulit apapun,” katanya.

Selain sebagai penerjemah, RR juga membuka jasa sekolah koresponden bagi anak-anak orang asing karena ketika itu di Bandung belum ada sekolah internasional. RR melihat peluang orang-orang asing banyak yang bingung untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

Karena tidak ada pilihan, kata RR, akhirnya mereka pakai sekolah koresponden. Misalnya, bahan-bahan ujian dikirim dari Amerika, kemudian hasilnya dikirim lagi ke Amerika. Permasalahan yang mereka hadapi adalah hanya membutuhkan tenaga tutor yang bisa mengajar.

“Akhirnya saya organisir beberapa teman untuk mengajari anak-anak bule itu mengenai matematika, science dan sejarah. Saat itu kami dibayar mahal dalam dolar. Sehingga ketika itu kami mampu membiayai kuliah dan bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujar RR sambil menambahkan bahwa seluruh perjalanan hidupnya ia lalui dengan sangat berat dan tidak mudah. Terutama sekali secara psikologis RR mengaku sering merasa tidak diperhitungkan oleh teman-teman lainnya karena statusnya sebagai anak yatim-piatu. Mereka terjamin, makan, minum dan kebutuhan lainnya bisa dipenuhi dengan tidak begitu susah karena berasal dari keluarga berada dan punya orangtua yang bisa menolongnya. Itulah pula yang membuat RR kadang amat sedih ketika kembali mengingat mendiang kedua orangtuanya, terutama di saat lebaran tiba. Namun RR mengaku buru-buru menarik nafas dan menegarkan hatinya agar tidak larut dalam kesedihan, sebab RR sadar bahwa perjalanan hidupnya ma-sih panjang dan masih dibutuhkan oleh orang banyak.

Saat aktif sebagai aktivis mahasiswa, RR pernah menjadi Ketua Dewan Mahasiswa ITB tahun 1977. Di situ bersama tiga temannya, RR masuk sebagai tim pe-nulis Buku Putih Perjuangan Mahasiswa ITB.

Di dalam buku inilah, katanya, dituangkan banyak kritikan terhadap sistem pemerintahan di Indonesia yang otoriter. Buku ini pula mengupas tentang praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang terjadi dalam tubuh pemerintahan di negeri ini kala itu, terutama keluarga Presiden Soeharto. Spontan, buku itu pun membuat Soeharto jadi murka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun