Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rizal Ramli, Capres Ideal 2014! ini Alasannya! (Bagian 1)

13 Juni 2013   01:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:07 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


MESKI
Rizal Ramli (RR) dan orangtuanya berasal dari Padang, namun sejak berusia enam tahun, RR sudah terpaksa pindah ke rumah neneknya, Ny. Rahmah, di Bogor, karena kedua orangtua RR ketika itu telah meninggal dunia.

Ayah RR adalah seorang Wedana atau semacam asisten camat, dan mudah bergaul kepada siapa saja. Sedangkan ibu RR adalah seorang guru yang dikenal disiplin dalam menanamkan sikap moral dan intelektualitas yang tinggi.

“Ibu saya, Rabiah, meninggal lebih dulu saat saya masih berusia lima tahun. Setahun berikutnya bapak saya, Ramli,” ujar RR mengawali kisahnya yang membawa dirinya harus berada di tanah Jawa.

RR yang merupakan anak keempat itu mengisahkan, bahwa ibunya adalah termasuk wanita modern pada zaman itu, yakni di saat perempuan Padang masih jarang memakai sepeda, ibunya yang berpendidikan guru itu juga sudah memiliki sepeda sendiri.

Saat berusia 3 tahun, RR ternyata sudah bisa membaca. Dan itu, katanya, adalah berkat ibunya yang setiap saat mengajari dan membimbingnya mengenal huruf-huruf. “Ibu saya adalah seorang guru, jadi beliau mudah mengajari saya untuk cepat membaca. Dan bagi saya, pandai membaca adalah modal utama untuk bisa lebih baik,” cerita RR seraya menyebutkan bahwa saat di Bogor dirinya sudah membaca sangat banyak komik, cerita pendek dan buku-buku se-Bogor. Dan itu ditekuninya mulai duduk di SD Hutabarat Bogor, SMP 1 Bogor hingga SMA 2 Bogor.

Lebih jauh RR berkisah, ada 14 orang yang tinggal di rumah nenek Rahmah di Bogor, yakni kakak-kakak dan sepupu-sepupu. “Saya senang menemani nenek ketika ke pasar. Sehingga itu saya adalah cucu yang paling disayang oleh nenek. Meski nenek tak lancar membaca, namun setiap pagi para cucunya bergantian membacakan koran agar bisa mengetahui perkembangan zaman,” ujar RR.

Di lingkungan sekitarnya, nenek Rahmah dipandang sebagai tokoh perempuan yang tak mudah menyerah dan giat menjalankan usahanya. “Waktu itu punya usaha industri ayam negeri, ayam petelur ataupun ayam broiler, ayam potong. Semua cucunya membantu nenek, meski hasilnya tidak seberapa, namun lumayan masih bisa makan, dan bisa membiayai hidup,” kata RR.

Karena kegemarannya membaca sangat tinggi, yang pada masa itu jumlah buku di Bogor juga masih terbatas, RR pun saat masih duduk di bangku SMA menulis surat ke luar negeri agar bisa mendapatkan bantuan buku lebih banyak. Buku-buku yang ia (RR) dapat pun dimasukkan ke dalam perpustakaan Pemda Bogor.

Setelah berhasil lulus SMA, RR kemudian mendaftar di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Fisika. Namun saat mendaftar, RR mengaku telah bertekad jika tidak diterima di ITB, maka dirinya tak ingin memaksakan diri untuk kuliah di tempat lain. Sebab, selain karena dirinya sudah yatim piatu, RR juga tak ingin membebani neneknya yang sudah memeliharanya sejak kecil hingga bisa menyelesaikan SD, SMP dan SMA.

Namun alhasil, RR dinyatakan diterima sebagai mahasiswa di ITB. “Saya hampir putus asa, karena jujur, nenek saya sangat sulit membiayai saya lagi untuk kuliah. Tetapi saya sudah bekerja sebagai mandor percetakan di Kebayoran,” katanya.

Selama bekerja, RR mengaku setiap hari harus serba berhemat dan mengencangkan ikat pinggang. “Makan pun saya harus ngirit.Hingga berhasil ngumpulin uang, saya pergi ke Bandung untuk membayar uang muka dan biaya kuliah. Saya memang menabung, tetapi sebagian harus dipakai untuk makan, setelah enam bulan uang saya habis, untuk makan saja nggak bisa. Akhirnya sempat enam bulan saya tidak mengikuti kuliah,” kenang RR.

Namun dalam keadaan yang serba sulit itu, RR mendapat pertolongan dari teman-temannya. Tetapi lama kelamaan RR merasa malu juga. “Waktu itu saya berpikir, lebih baik saya berhenti kuliah sajalah?!?” ujar RR.

Di saat RR telah hampir memilih untuk tidak lagi melanjutkan kuliah, pikiran “bisnis” RR spontan bergerak. “Tiba-tiba saya sadar, kenapa saya nggak jadi penerjemah saja, Bahasa Inggris saya kan lumayan bagus,” ujarnya.

Kebetulan, kata RR, ketika itu di Bandung banyak dosen dan mahasiswa yang berhubungan dengan tugas-tugas artikel ilmiah dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia atau sebaliknya dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris.

RR mengaku mengawali profesinya sebagai penerjemah terbilang susah, sebab butuh sekitar 2 jam untuk 1 halaman. Namun karena telah terbiasa, akhirnya bisa cepat, yakni 10 menit saja untuk satu halaman.

“Ketika makin banyak pesanan yang minta diterjemahkan, saya pun mengajak teman sesama orang miskin sebagai partner (RR tertawa). Saya yang membacakannya, dan dia yang mengetik. Dan saat itu waktu bisa saya tekan menjadi lebih cepat, yakni tujuh menit satu halaman,” katanya seraya menambahkan, bahwa bekerja sebagai penerjemah hanya dilakukannya usai Jumatan hingga Sabtu sore.

Ketika itu nama Rizal Ramli tiba-tiba menjadi populer karena bisa melanjutkan kuliah dan membiayai hidupnya secara mandiri melalui profesinya sebagai penerjemah. “Saya sangat bersyukur karena Tuhan selalu memberikan jalan kepada saya untuk maju, dan tidak mudah menyerah terhadap kondisi yang sesulit apapun,” katanya.

Selain sebagai penerjemah, RR juga membuka jasa sekolah koresponden bagi anak-anak orang asing karena ketika itu di Bandung belum ada sekolah internasional. RR melihat peluang orang-orang asing banyak yang bingung untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

Karena tidak ada pilihan, kata RR, akhirnya mereka pakai sekolah koresponden. Misalnya, bahan-bahan ujian dikirim dari Amerika, kemudian hasilnya dikirim lagi ke Amerika. Permasalahan yang mereka hadapi adalah hanya membutuhkan tenaga tutor yang bisa mengajar.

“Akhirnya saya organisir beberapa teman untuk mengajari anak-anak bule itu mengenai matematika, science dan sejarah. Saat itu kami dibayar mahal dalam dolar. Sehingga ketika itu kami mampu membiayai kuliah dan bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujar RR sambil menambahkan bahwa seluruh perjalanan hidupnya ia lalui dengan sangat berat dan tidak mudah. Terutama sekali secara psikologis RR mengaku sering merasa tidak diperhitungkan oleh teman-teman lainnya karena statusnya sebagai anak yatim-piatu. Mereka terjamin, makan, minum dan kebutuhan lainnya bisa dipenuhi dengan tidak begitu susah karena berasal dari keluarga berada dan punya orangtua yang bisa menolongnya. Itulah pula yang membuat RR kadang amat sedih ketika kembali mengingat mendiang kedua orangtuanya, terutama di saat lebaran tiba. Namun RR mengaku buru-buru menarik nafas dan menegarkan hatinya agar tidak larut dalam kesedihan, sebab RR sadar bahwa perjalanan hidupnya ma-sih panjang dan masih dibutuhkan oleh orang banyak.

Saat aktif sebagai aktivis mahasiswa, RR pernah menjadi Ketua Dewan Mahasiswa ITB tahun 1977. Di situ bersama tiga temannya, RR masuk sebagai tim pe-nulis Buku Putih Perjuangan Mahasiswa ITB.

Di dalam buku inilah, katanya, dituangkan banyak kritikan terhadap sistem pemerintahan di Indonesia yang otoriter. Buku ini pula mengupas tentang praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang terjadi dalam tubuh pemerintahan di negeri ini kala itu, terutama keluarga Presiden Soeharto. Spontan, buku itu pun membuat Soeharto jadi murka.

Buku yang telah diterbit melalui stensil namun dilarang beredar itu sulit dibendung. Akhirnya, malah dengan sendirinya beredar di mana-mana, dimulai dalam lingkungan di seluruh kampus di Jawa hingga ke luar Jawa. Bahkan beberapa media cetak ketika itu mempublikasikan materi buku tersebut yang dikemas dalam tajuk kritik mahasiswa ITB terhadap Pak Harto.

Inilah yang membuat kemudian Presiden Soeharto makin murka yang dibuktikan dengan dibredelnya media-media cetak yang memuat materi dari buku tersebut.

Namun tak sampai di situ, buku kecil ini pun lalu diterjemahkan ke dalam 8 bahasa oleh Ben Anderson, yakni seorang profesor dari Cornell University, Amerika Serikat. Buku Putih ini dianggap sebagai sebuah keberanian dalam kebenaran mengkritik untuk pertama kalinya secara sistematis terhadap sistem otoriter Orba. Sebab, sebelumnya tak ada satu pun yang berani main protes-protes terhadap pemerintahan Soeharto. Namun inilah kemudian yang membuat salah satunya RR dipenjara.

RR DIPENJARA
“Nenek saya jadi amat sedih, beliau menangis melulu karena cucu kesayangannya di penjara. Tiga bulan di penjara militer Jl. Sumatera, dan satu tahun di penjara Sukamiskin, Bandung, di dalam penjaranya Pak Soekarno. Waktu itu kita bersembilan di penjara, masing-masing berasal dari ITB, Unpad, Unisba dan IKIP.

Selama di penjara, RR memanfaatkan waktunya lebih banyak dengan membaca buku-buku yang dikirim oleh teman-temannya sambil juga berdiskusi setiap hari dengan teman-teman sesama aktivis. Dan sesekali bermain catur dengan para napi lainnya.

Sejumlah pengalaman menarik sempat ditemui RR selama melalui hari-hari di penjara sebagai tahanan politik. Misalnya, untuk sarapan paginya, kata RR, makanannya menyiksa karena sangat tak layak untuk dikonsumsi.

RR menggambarkan, di dalam penjara ia sulit makan sebagaimana porsi yang sudah ditentukan untuk para tahanan. Soalnya, nasinya kadang bercampur dengan beberapa butir pasir dan batu kecil-kecil. Nasinya disajikan bersama kelapa yang tak jarang juga sudah basi. Pikiran saya mungkin anggaran makanannya dikorupsi atau karena budget-nya memang sedikit.

Penghuni Penjara Sukamiskin, kata RR, selain tahanan politik mahasiswa, juga berasal dari pelaku kriminal yang kena sanksi berat di atas 5 tahun, seperti pembunuh, perampok dan pemerkosa. Sehingga itu, sebagian besar penghuni Sukamiskin ketika itu kenal dengan RR. “Suatu ketika setelah bebas dari Sukamiskin, saya pernah naik bis di Jakarta, di samping saya ada yang colak-colek, tapi menebak-nebak sepertinya saling kenal, ternyata dia dulu dari Sukamiskin, dan rupanya pula dia kepala pencopet di bis,” tutur RR sambil tertawa.

RR lanjut Kuliah Di Luar NegeriSetelah menjalani masa tahanan politik di penjara Sukamiskin, kuliah RR di ITB terputus. Namun karena selama di penjara banyak membaca buku-buku seputar ekonomi politik, RR pun mengaku tertarik untuk mendalami ilmu ekonomi.

Dengan berbekal kepandaiannya ber-bahasa Inggris, RR pun mencari-cari peluang beasiswa untuk studi di luar negeri. Alhasil, RR berhasil mendapatkan beasiswa dari Ford Foundation. “Saya diterima sebagai mahasiswa Boston University atas rekomendasi Rektor ITB serta Adnan Buyung Nasution, yang kemudian beberapa waktu silam pernah menjadi lawyer saya saat saya diadili dalam kasus yang mirip-mirip dengan masa lalu. Mereka mengatakan bahwa Rizal Ramli itu anak-nya pintar, kreatif dan berani, sampai itu direkomendasikan. Tetapi, begitu melihat nilai ujian untuk lolos menuju Boston, angkanya jadi jelek semua,” cerita RR sambil tertawa.

Meski begitu, pada tahun 1980, RR masih diterima sebagai mahasiswa percobaan di Boston selama enam bulan, ikut program S1 Ekonomi. Di situlah RR membuktikan kualitasnya menjalani kehidupan baru sebagai mahasiswa percobaan di Boston University. Dan ternyata, RR memang berhasil membuktikan diri mampu menjadi mahasiswa yang baik dengan nilai-nilai hasil ujian yang seluruhnya bagus.

“Ujian mata kuliah Ekonomi Makro saya nilainya A, mengalahkan bule-bule. Dari situlah saya kemudian ditetapkan menjadi mahasiswa biasa (bukan lagi mahasiswa percobaan),” ujar RR seraya menambahkan bahwa kuliah yang sedianya ditempuh selama dua tahun, berhasil diselesaikannya hanya dalam waktu 1,5 tahun.

RR mengaku memiliki dua pertimbangan saat mendapatkan tawaran untuk melanjutkan kuliah ke tingkat lebih tinggi. Yakni pertama, meski nilai studi ekonominya bisa lulus dengan nilai bagus, tetapi RR merasa belum begitu memahami seputar ilmu ekonomi karena basis keilmuannya adalah di ilmu exact science. Kendati begitu RR sesungguhnya merasa mampu mencari dan menggali solusi apabila diberi masalah di bidang ekonomi.

Kedua, RR memikirkan usianya yang kala itu telah memasuki 30 tahun, tetapi masih single. “Saya merasa butuh untuk segera mencari pacar, lalu menikah,” ucap RR sambil tertawa.

Dari kedua pertimbangannya tersebut, RR pun memilih untuk kembali ke Jakarta, kemudian bekerja selama setahun sebagai Redaktur di Prisma. RR pun sudah menemukan seorang wanita yang dipacarinya, yakni seorang mahasiswi jurusan Arsitektur tingkat akhir di ITB. “Saya akhirnya menikah dengan Herawati tahun 1982,” katanya.

Karena merasa sudah mampu untuk kembali melanjutkan studi, RR pun meneruskan pendidikannya kembali di Boston University melalui beasiswa sekaligus biaya hidup. Tetapi karena RR kala itu sudah beristri dan telah memiliki dua orang anak, praktis dana beasiswa tersebut tidak cukup. Untuk menutupi kekurangannya tersebut, RR bekerja menjadi asisten researcher. Sementara istri RR, Herawati yang memang sudah berpredikat sebagai seorang arsitek itu juga berhasil bekerja di Biro Arsitek di Boston.

Namun, Herawati diam-diam juga berkeinginan untuk kembali kuliah. RR merestuinya, setelah 3 hingga 4 tahun bekerja dan cukup uang, Hera pun diterima di Harvard School of Planning.

“Semuanya berjalan dengan baik. Hera meski bekerja dan kuliah tetapi juga bisa mengurus dua anak. Begitu pun adanya dengan saya,” kenang RR seraya mengungkapkan bahwa kala itu di Boston belum ada suami-istri asal Indonesia yang bekerja, kuliah sambil mengurus anak.

Dan ini, kata RR, adalah menjadi sebuah legenda, yakni keluarga perjuangan. Dan RR mengaku sangat bersyukur kepada Tuhan karena semuanya bisa beres dan selesai dengan meraih gelar Ph.D. Yang kemudian RR mampu tampil sebagai sosok yang matang, bukan hanya matang dalam pendidikan dan intelektualitas, tetapi alam juga telah menempanya hingga mampu menjadi seorang tokoh nasional yang juga telah matang untuk menjadi seorang pemimpin di negeri ini.

Sebab, jika saat ini rakyat Indonesia sedang mencari sosok presiden 2014, maka tak salah jika sebelumnya bisa membandingkan sosok RR dengan semua sosok calon presiden lainnya yang sudah ramai disebut-sebut saat ini. Adakah proses kematangan yang mereka miliki bisa menyamai kematangan RR?

Jika para capres (calon presiden) sekarang bisa berada di level yang disebut sukses, itu karena memang mereka masih memiliki orangtua (atau mungkin berasal dari keluarga yang berekonomi kelas atas), tetapi RR tidaklah demikian, RR mampu menjalani dan melalui hidupnya dengan penuh perjuangan yang sangat keras sebagai anak Yatim-Piatu.

Dan sekali lagi, RR pernah dipenjara karena melawan Soeharto untuk tidak lagi menjadi presiden di era Orba. Jadi tak heran jika saat ini RR kembali harus melawan pemerintahan SBY yang dinilai KORUP!! Bagaimana dengan Capres lain..???

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun