Direksi BII, dengan Dirut Harashi Tadano langsung diganti dengan bankir gemblengan Bank Mandiri, Cholil Hasan sebagai ketua Tim Pergelola, dibantu oleh Arman B. Arif (sebagai Wakil Ketua, eks Vice President Bank Danamon), Sukatmo Padmosukarso (juga dari Bank Mandiri) dan sejumlah bankir yang berasal dari BII sendiri.
Kepada jajaran Direksi baru BII, Rizal Ramli memberikan target waktu untuk membenahi BII hingga bisa segar bugar kembali. “Saya minta direksi baru bisa menyelesaikan problem yang dihadapi BII dalam waktu tiga bulan. Kalau tiga bulan tidak beres, bukan hanya Anda semua, saya juga harus lengser sebagai Menteri Keuangan dan mencari pekerjaan lain!” kata Rizal Ramli.
Jajaran direksi baru itu mampu membawa BII keluar dari krisis kepercayaan yang nyaris membuat bank ini tersungkur lagi hanya dalam tempo satu setengah bulan. Dengan solusi kebijakan inovatif yang digelar oleh Rizal Ramli, krisis BII bisa diredam tanpa menimpulkan efek domino kepada bank lain. Juga tanpa perlu merogoh kocek pemerintah sepeser pun! Sebuah terobosan yang jitu.
Bayangkan, jika pemerintah mengikuti saran IMF-Bank Dunia, keuangan negara tentu akan jebol antara Rp 4 – 5 triliun.Model penyelamatan yang dilakukan Rizal Ramli biayanya sangat murah. “Cuma keluar biaya PR (public relations),” kata Rizal Ramli sambil tersenyum.
“Yang penting kita bisa bergerak cepat menangkap core issue-nya. Lalu melakukan koordinasi untuk mengatasinya,” ujar Rizal Ramli dalam bukunya: ‘Rizal Ramli, Lokomotif Perubahan’ itu.
Dan inilah sejumlah kiat atau jurus yang telah dilakukan oleh Presiden Gus Dur melalui Menko Perekonomiannya Rizal Ramli, yang pada kenyataannya telah mampu menurunkan Utang Luar Negeri meski pemerintahannya hanya berlangsung begitu sangat singkat, yakni hanya sekitar 21 bulan.
Bagaimana dengan Pemerintahan Jokowi? Sejauh ini, secara fakta, Jokowi belum punya pengalaman sebagai Presiden. Saat ini Jokowi malah lebih patut disebut sebagai pemimpin yang baru belajar menjadi presiden. Bahkan jika melihat rekam jejak Jokowi ketika memimpin Jakarta, sepertinya urusan utang malah akan terus membengkak.
Bayangkan, hanya dalam tempo dua tahun saja, utang luar negeri provinsi DKI Jakarta sudah mencapai Rp35 triliun. Dana asing itu digunakan untuk membiayai berbagai megaproyek di Jakarta.
Jumlah tersebut tidak termasuk rencana utang baru sebesar 3,4 triliun yen untuk Rencana Induk Metropolitan Priority Area (MPA) hingga 2020. yang bersumber dari Japan International Cooperation Agency (JICA) yang dikemas dengan Public Private Partnership (PPP). Tapi mari kita wait and see, apa yang bisa dilakukan oleh rezim yang sedang “memainkan Trikartu “ dengan menempatkan sejumlah menteri yang kental berbau neoliberalisme itu. Hmmm....???
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H