Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Money

Ini Kiat Gus Dur Bisa Kurangi ULN. Bagaimana dengan Jokowi?

27 November 2014   17:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:42 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari situ, stigma yang memandang Indonesia sebagai negara yang lelet karena pulih dari krisis paling buncit di kalangan Asean pun serta-merta pupus dengan sendirinya. Bayangkan, Malaysia dan Korea Selatan yang dianggap paling cemerlang pun, pada tahun 2000 ekonominya diprkirakan hanya tumbuh 3,8%. Sedangkan Thailand 3,6%. Bahkan Filipina hanya sedikit bergeser ke 2,8%. Kabar gembira juga datang dari angka-angka ekspor nasional, nilainya menyentuh US$62 Miliar. Dibandingkan dengan ekspor pada 1999 yang cuma US$48,7 Miliar, angka tersebut melambung hingga 27,4%.

Bukan cuma itu, Presiden Gus Dur melalui Rizal Ramli sebagai Menko Perekonomiannya itu mampu membuat ekspor sektor manufaktur juga terkerek 37%. Yang lebih dahsyat, pertumbuhan ekspor produk elektronik mampu terbang ke 109%. Perlu dicatat, lonjakan ekspor itu jauh lebih tinggi ketimbang yang pernah dicapai Indonesia pada masa pra-krisis. Prestasi ini pun berhasil mencetak surplus neraca perdagangan sebesar US$28,6 Miliar. Pundi-pundi negara alias cadangan devisa pun menggelembung menjadi US$29,4 Miliar.

Kinerja ekonomi makro yang cukup cemerlang itu diikuti perbaikan yang signifikan di sektor riil. Konsumsi listrik industri, misalnya, naik 8,5% dibandingkan dengan rata-rata 5% pada sebelum krisis. Padahal, saat itu PLN justru sedang rajin menggenjot tarif dasar listrik (TDL).

Tak hanya sampai di situ, tingkat penjualan eceran juga meningkat 17%. Bahkan penjualan sepeda motor, yang menjadi indikator daya beli  masyarakat kalangan menengah-bawah, melaju ke posisi 71%. Pada saat yang sama, sektor konstruksi tumbuh 8,3% setelah  jalan di tempat selama dua tahun. Perbaikan sektor riil juga mampu menyerap sejuta tenaga kerja baru.

Sehingga secara keseluruhan, meski Pemerintahan Presiden Gus Dur hanya berlangsung 21 bulan, namun 1o program yang dicanangkan Rizal Ramli ketika itu sangat jelas berhasil tertancap untuk kepentingan rakyat, dan sungguh telah membawa perubahan signifikan ke arah kemajuan yang positif.

Dan secara khusus, Rizal Ramli pada 10 Program Percepatan Pemulihan Ekonomi tersebut, pada point 5 dan 7 di atas, menekankan keseriusanannya agar Indonesia dapat betul-betul menghindari ketergantungan kepada IMF, yakni mengutamakan pemulihan ekonomi berlandaskan investasi daripada berlandaskan pinjaman, dan menjalankan privatisasi bernilai tambah.

Misalnya, ketika Rizal Ramli mampu menggaet (memunculkan dan mengadakan) Rp 5 Triliun tanpa melepas dan menjual saham Telkom-Indosat.

Pada saat itu, Pemerintahan Gus Dur-Megawati perlu dana banyak untuk menambal Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Jika mau mengikuti anjuran Dana Moneter Internasinal (IMF)-Bank Dunia (World Bank), caranya sangat gampang. Jual saham-saham BUMN yang bagus dan menguntungkan. Hasil penjualannya, dipakai untuk membiayai APBN. Sangat sederhana.

Tapi, jika privatisasi model IMF-Bank Dunia itu dijalankan, sebagaimana dilakukan di Rusia pada masa pemerintahan Boris Yeltsin pada tahun 1991-1999, ternyata arahnya berbelok dari privatisasi menjadi piratisasi alias perampokan. Istilah ini diungkapkan oleh Prof. Marshall Goldman dari Harvard University, Amerika Serikat.

Maklum (jika privatisasi model IMF-Bank Dunia itu dijalankan), aset negara (BUMN) itu kemudian dijual dengan harga sangat murah. Akibatnya raja-raja ekonomi baru bermunculan, yaitu mereka yang mampu dengan cepat menumpuk kekayaannya dengan memborong aset BUMN yang harganya supermurah. Penyebabnya tak lain karena valuasi aset negara itu terlalu rendah.

Sebagai Menko Perekonomian, Rizal Ramli ogah mengobral saham BUMN yang bagus seperti PT Telkom dan PT Indosat, yang sahamnya dikenal sebagai saham blue chips di Bursa Efek Jakarta. Apalagi keduanya sudah dual listing dengan mencatatkan sahamnya di pasar modal Nasdaq, Amerika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun