Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Berita yang Telat Satu Jam

29 September 2019   01:21 Diperbarui: 30 September 2019   04:21 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by brotiN biswaS from Pexels

Selepas koran harian pagi dilayangkan ke pekarangan rumah, tidak seperti biasa, ternyata kiriman koran telat satu jam. Aku biasa menerima tepat pukul setengah tujuh namun setengah delapan baru muncul dan aku sudah menanti-nanti sejak pagi.

Pagi agak cerah dan sedikit redup karena segerombolan awan hitam pekat terlihat menyelimuti seperbagian langit kotaku. Aku lantas berprasangka; mungkin si penjaja koran sibuk mencari mantel hujan tadi pagi.

Baru sepintas menatap isi rubrik bergambar besar dengan huruf kapital seluruhnya. Aku seperti mengulang kejadian memilukan beberapa tahun silam dimana aku besar dan diasuh di suasana pedesaan dekat sungai serta hutan yang rimbun.

Saban hari, aku melirik sekumpulan pedagang labu beriringan menapaki jalan lenggang dengan gerobak kayu. Sawah terhampar puluhan hektar menambah keasrian di sepanjang desa. Begitu pula gemericik sungai nan jernih berlarian diantara ceruk-ceruk sawah sebagai jalur irigasi.

Aku mendapati kesan itu dengan sepiring singkong rebus dan satu teko teh hangat saat bercengkrama di gubuk bale belakang rumah.

Namun, ini bukan awal yang memilukan. Setelah pabrik-pabrik industri sepatu tumbuh kian pesat di lahan hijau, aku sempat mengurungkan niat berpulang ke desaku. Entah dorongan apa semua pemandangan indah tiba-tiba terjungkal dan tergelincir, tergantikan asap-asap kebul dari cerobong pabrik membuat desaku dilupakan di benak-benak para penduduknya.

Pernah suatu ketika kereta patas menepi di stasiun kecil dekat desaku. Aku turun menjejaki tanah kelahiranku sebab rasa rindu akan suasana hangat masa itu dimana aku berlarian mengejar layangan putus atau berburu keong sawah.

Dulu, belum ada stasiun berdiri di kawasan ini. hanya ladang luas yang biasa digunakan warga setempat untuk menjemur keramik. Ya, desaku terkenal dengan pengerajin tanah liat sampai-sampai perusahaan sederhana ini meluas ke penjuru negeri. Aku bersyukur pernah tinggal di tempat paling berkesan di sepanjang hidupku.

Sekian lama, profesi itu berangsur-angsur hilang akibat kalah pamor dengan perusahaan dengan gedung atau pabrik yang menjulang ke langit. Aku merasa sedih seketika turun dari gerbong dan bergegas mengangkat tas punggung menuju rumah emak dahulu. Beliau sudah tiada.

Tapi saudara dan teman-temanku yang tersisa masih setia menunggu di kedai samping pabrik roti, ingin melemparkan dialog sekilas kehidupan perih di kota nun jauh. Aku tak sabar untuk itu.

Hanya butuh berjalan kaki dua kilometer dari stasiun, pohon kersen raksasa penunggu rumahku sudah terlihat di sepenggal mataku. Rasa rindu ingin bertemu tak mungkin disia-siakan. Aku menghirup udara agak segar ketika melirik sebagian lahan sawah sudah tak berbentuk sawah lagi. Banyak pabrik tumbuh subur dan tak mengenal musim panen.

"Mas, nyampe jam berapa? Kesini kok tidak kasih kabar?" dia adik perempuanku, yang tengah menjemur pakaian, dia kaget akan kedatanganku. Dia adalah adik paling rajin, berumur sudah matang nikah, sekitar dua puluh tahunan.         

"Baru saja nyampe, kemana adik-adikmu?" begitulah kurang lebih dialogku setelah lima tahun tak pernah berkunjung ke desa. Aku ingin bertemu dan bertatap wajah dengan keramahan warga sekitar sekadar melepas kerinduan. Aku lantas disuguhi teh hangat, mengingat masa ini membuatku ingin betah di desaku berlama-lama.

"Oh, mereka lagi sibuk kerja di sisa-sisa sawah milik kakek." Tangan mulusnya sambil mengaduk teh. Terlihat air mukanya tampak keletihan. Aku menyuruhnya agar istirahat sejenak.

Ada yang berubah di corak desaku yang biasa banyak ayam keliaran bahkan hari ini suaranya pun nyaris tak ada. Kolam lele yang sudah beranak pinak dahulu kini kolam itu dijadikan bak sampah. Lele entah pada ke mana.

Begitu pula tanaman-tanaman dalam pot kecil yang sudah tak tahu rimbanya. Yang ada hanyalah pelataran kosong dengan rasa senyap menyelimuti kondisi sekeliling rumah. Tetangga pun tak ada lagi yang saling menyapa. Siang dirundung duka. Aku benar-benar merasakan perbedaan yang sangat mencuat.

"Kok ada yang berubah?" dari raut muka adikku ini seakan sudah paham jika aku akan melontarkan pertanyaan demikian.

"Ya, semenjak pabrik itu berdiri, hutan-hutan dibabat habis, sungai mulai tercemar limbah, keadaan di rumah pun berbeda drastis: Ayam-ayam dimangsa musang, babi hutan merambah ke pemukiman warga, bentrok antara warga dengan pemilik pabrik hampir setiap minggu sekali. Aku sedih.."

Tangannya menutupi mulut serta mata berkaca-kaca. Sesekali ucek mata dengan baju polosnya. Aku merasakan hal yang sama. Teh hangat ini, tak seperti hangat-hangatnya zaman aku bersekolah dengan kaki telanjang, terkadang menaiki kerbau petani sambil memutar-mutar dasi di udara. Aku diam menelan ludah seusai kabar duka ini mendarat di telingaku.

"Bagaimana kabar Bang Kurdi? Apakah sehat-sehat saja?" Kurdi, teman baikku kala sekolah dulu. Ia selalu mengajak bermain di pematang sawah, membuat perahu-perahuan dari bambu. Kenangan yang tumbuh dari semasa kecil hingga sekarang yang menitipkan doa padaku untuk kelahiran anak keduanya lewat ponsel. Bahkan sekali bertemu, tak putus-putusnya berdialog sana-sini. Selagi aku masih di desa, aku harap waktu mengizinkan tuk bersua di kedai Bu Asrul.

"Hmm.. Bang Kurdi sudah pindah ke luar kota dua minggu yang lalu. Sebelum berpisah, ia menitipkan pesan padaku bila Mas Jurad ke desa dia takkan kembali ke desa sampai suasana desa sama asrinya halnya dahulu."

Dia mengeluhkan kondisi yang serupa aku alami beberapa jam di desa ini. desa yang berisik dengan pekerjaan mesin dan aliran sungai tak segar lagi.

Pagi, menunjukkan pukul setengah sembilan. Sudah sejam lamanya berbaring di kenangan masa lalu. Aku terbangun dengan koran terbuka lebar. Entah sampai halaman berapa yang aku baca. Namun, seketika aku menerawang  taman, hanya udara suram dan jarak pandangku mulai kabur.

Kabut tebal menjamahi rumahku. Pekat. Diikuti bau tak sedap habis kebakaran. Hangus. Aku kenal kabut ini. bukan kabut alami melainkan buatan manusia. Tak lama berselang istriku datang dari arah pagar sambil menutup hidungnya. Ia lupa mengenakkan masker. Lalu berkata padaku;

"Pah, dimana?"

"Aku disini." Dengan sigap, aku menutup lembar koran dan benar sosok istriku persis siluet di tengah kabut tebal. Ia mengibas-ngibaskan asap itu agar hilang. Namun sayang. Udara membawa asap kabut itu lebih deras ke arah kompek rumah.

Aku berdiri dari tempat duduk menuju sosok istriku lantas memeluk istriku dengan erat.

"Tenang, mah. Aku ada di sampingmu." Begitu kata-kata romantis keluar dari sarang mulutku.

Ia berk ata dengan lirih tepat di sandaran bahuku, "Pah, aku rindu udara segar. Aku tak bisa setiap hari melihatmu dalam kabut tebal begini."

Benar saja, berita kebakaran hutan lahan itu membuat cintaku pada istriku bagai terpisah dua benua; asap yang membumbung di langit-langit negeriku Indonesia, merusak apa saja yang aku rindukan semasa di desa. Bilamana ada protes rakyat terhadap pemerintahan, aku adalah orang pertama yang menyuarakan keadilan cinta. Aku ingin istriku tetap bahagia hingga akhir marak asap-asap kabut itu lenyap.

Ataukah keterlambatan koran itu disebabkan asap yang terus menggumpal di komplek sampai membuat si penjaja koran kebingungan dan mencari-cari letak rumahku?      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun