Pagi, menunjukkan pukul setengah sembilan. Sudah sejam lamanya berbaring di kenangan masa lalu. Aku terbangun dengan koran terbuka lebar. Entah sampai halaman berapa yang aku baca. Namun, seketika aku menerawang  taman, hanya udara suram dan jarak pandangku mulai kabur.
Kabut tebal menjamahi rumahku. Pekat. Diikuti bau tak sedap habis kebakaran. Hangus. Aku kenal kabut ini. bukan kabut alami melainkan buatan manusia. Tak lama berselang istriku datang dari arah pagar sambil menutup hidungnya. Ia lupa mengenakkan masker. Lalu berkata padaku;
"Pah, dimana?"
"Aku disini." Dengan sigap, aku menutup lembar koran dan benar sosok istriku persis siluet di tengah kabut tebal. Ia mengibas-ngibaskan asap itu agar hilang. Namun sayang. Udara membawa asap kabut itu lebih deras ke arah kompek rumah.
Aku berdiri dari tempat duduk menuju sosok istriku lantas memeluk istriku dengan erat.
"Tenang, mah. Aku ada di sampingmu." Begitu kata-kata romantis keluar dari sarang mulutku.
Ia berk ata dengan lirih tepat di sandaran bahuku, "Pah, aku rindu udara segar. Aku tak bisa setiap hari melihatmu dalam kabut tebal begini."
Benar saja, berita kebakaran hutan lahan itu membuat cintaku pada istriku bagai terpisah dua benua; asap yang membumbung di langit-langit negeriku Indonesia, merusak apa saja yang aku rindukan semasa di desa. Bilamana ada protes rakyat terhadap pemerintahan, aku adalah orang pertama yang menyuarakan keadilan cinta. Aku ingin istriku tetap bahagia hingga akhir marak asap-asap kabut itu lenyap.
Ataukah keterlambatan koran itu disebabkan asap yang terus menggumpal di komplek sampai membuat si penjaja koran kebingungan dan mencari-cari letak rumahku? Â Â Â