Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Berita yang Telat Satu Jam

29 September 2019   01:21 Diperbarui: 30 September 2019   04:21 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by brotiN biswaS from Pexels

"Mas, nyampe jam berapa? Kesini kok tidak kasih kabar?" dia adik perempuanku, yang tengah menjemur pakaian, dia kaget akan kedatanganku. Dia adalah adik paling rajin, berumur sudah matang nikah, sekitar dua puluh tahunan.         

"Baru saja nyampe, kemana adik-adikmu?" begitulah kurang lebih dialogku setelah lima tahun tak pernah berkunjung ke desa. Aku ingin bertemu dan bertatap wajah dengan keramahan warga sekitar sekadar melepas kerinduan. Aku lantas disuguhi teh hangat, mengingat masa ini membuatku ingin betah di desaku berlama-lama.

"Oh, mereka lagi sibuk kerja di sisa-sisa sawah milik kakek." Tangan mulusnya sambil mengaduk teh. Terlihat air mukanya tampak keletihan. Aku menyuruhnya agar istirahat sejenak.

Ada yang berubah di corak desaku yang biasa banyak ayam keliaran bahkan hari ini suaranya pun nyaris tak ada. Kolam lele yang sudah beranak pinak dahulu kini kolam itu dijadikan bak sampah. Lele entah pada ke mana.

Begitu pula tanaman-tanaman dalam pot kecil yang sudah tak tahu rimbanya. Yang ada hanyalah pelataran kosong dengan rasa senyap menyelimuti kondisi sekeliling rumah. Tetangga pun tak ada lagi yang saling menyapa. Siang dirundung duka. Aku benar-benar merasakan perbedaan yang sangat mencuat.

"Kok ada yang berubah?" dari raut muka adikku ini seakan sudah paham jika aku akan melontarkan pertanyaan demikian.

"Ya, semenjak pabrik itu berdiri, hutan-hutan dibabat habis, sungai mulai tercemar limbah, keadaan di rumah pun berbeda drastis: Ayam-ayam dimangsa musang, babi hutan merambah ke pemukiman warga, bentrok antara warga dengan pemilik pabrik hampir setiap minggu sekali. Aku sedih.."

Tangannya menutupi mulut serta mata berkaca-kaca. Sesekali ucek mata dengan baju polosnya. Aku merasakan hal yang sama. Teh hangat ini, tak seperti hangat-hangatnya zaman aku bersekolah dengan kaki telanjang, terkadang menaiki kerbau petani sambil memutar-mutar dasi di udara. Aku diam menelan ludah seusai kabar duka ini mendarat di telingaku.

"Bagaimana kabar Bang Kurdi? Apakah sehat-sehat saja?" Kurdi, teman baikku kala sekolah dulu. Ia selalu mengajak bermain di pematang sawah, membuat perahu-perahuan dari bambu. Kenangan yang tumbuh dari semasa kecil hingga sekarang yang menitipkan doa padaku untuk kelahiran anak keduanya lewat ponsel. Bahkan sekali bertemu, tak putus-putusnya berdialog sana-sini. Selagi aku masih di desa, aku harap waktu mengizinkan tuk bersua di kedai Bu Asrul.

"Hmm.. Bang Kurdi sudah pindah ke luar kota dua minggu yang lalu. Sebelum berpisah, ia menitipkan pesan padaku bila Mas Jurad ke desa dia takkan kembali ke desa sampai suasana desa sama asrinya halnya dahulu."

Dia mengeluhkan kondisi yang serupa aku alami beberapa jam di desa ini. desa yang berisik dengan pekerjaan mesin dan aliran sungai tak segar lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun