“Hahaha iya, kok tahu.”
“Dah dari satu tahun yang lalu itu saja sayang bilang. Nggak tahu apa kalau kuping adek sakit?”
“Lebai kamu,” aku pun langsung menjewer telinga Desi.
Kamu pun tertawa bersama-sama. Kami menikmati moment berdua ini semaksimal mungkin. Karena dua tahun ke depan kami tidak akan bertemu lagi. Hanya perpisahan sementara.
“Sayang, aku berjanji deh. Aku akan menunggu kepulanganmu,” kata Desi dengan senyuman meyakinkan. Aku pun tersenyum sambil mengelus rambutnya.
***
“Sial,” teriakku. Aku kalah bermain game. Karekterku mati. Huh … bukannya pikiran tenang malah bertambah pahit ini jadinya.
Aku pergi melihat keluar. Sudah larut malam. Oh … mungkin ini di Indonesia masih pagi. Itu sebabnya aku tidak berani menghubungi Desi. Perbedaan waktu 24 jam? Bukan itu, aku bokek di sini. Nelpon aja menghabiskan puluhan ribu pulsa.
Mungkin memang laki-laki itu temannya. Aku yakin laki-laki itu temannya.
***
Dua bulan berlalu dengan pikiranku begitu kalut. Beruntung aku berhasil menyelesaikan pendidikanku di tengah kegalauan. Entah keberuntungan apa yang berpihak kepadaku.