Kutuliskan segenggam gumam untukmu Rani, diantara keringnya Sungai Serang yang mengairi Kedungombo dan jembatan Suramadu yang sudah "cacat" ketika berusia baru berpuluh hari. Hingga butiran-butiran jam kembali membalik halaman lama di 15 kali revolusi bumi pada matahari silam, kala kita masih memegang idealisme dengsn kuat, pernah kutawarkan berjuta mimpi untuk menggagahi segala kesepianmu, dan kau menjawab dengan diam. Di sela-sela ocehan burung Siak, pernah pula sampai kupanjatkan doa, atau bahkan harum kemenyan hanya agar kau menyajikan ruang kosongmu dihati, namun aku dikabari malam tua, jika semuanya memang tak tertakdir sama, lalu kuhaturkan urungan niat untuk meminang. Aku menyerah, namun tak bertumbuh dendam hati, apalagi sampai harus sehina bunuh diri.
Tanggal-tanggal terbakar sampai pada hari ini. Terus beranjak. Aku tak berubah warna, masih berasal dari suku yang terbuang dari saratnya hidup yang makin berjejal. Bertahan hidup dari cerita masa yang dikatakan banyak orang sebagai masa kebangkitan. Seperti yang pernah kau ucapkan padaku, masa lalu adalah kenangan, masa kini adalah perjuangan, dan masa depan adalah hadiah. Hadiah? Bohong besar, sebab langit tak mau mencerahkan suram dalam panjatku untukmu. Akhirnya aku tenggelam bersama bungkusan detik yang sia-sia. Lalu segenggam gumamku itu menjadi sekeranjang makian untukmu. Larut bersama sekain jernih.
§§§
Penghujan kali ini menjahili otakku, tetesan yang menghibur bumi. Juga bilangan rinainya yang telah menemani 36 tahun sejak tangisku yang pertama. Terbersit pikiran nakal. Bagaimana seandainya kau yang bercinta denganku di malam pertama lalu? Bagaimana jika rahimmu yang melahirkan bibit-bibit alam dari darahku? Bagaimana jika kau yang membesarkan dagingku dengan air susumu? Aku rindu menanyakan semua itu padamu Rani. Tapi hasrat ini juga ingin mengenalkan sebuah ladang padamu. Bukan penggantimu, sebab embun pagi di alun-alun kota pernah berkata padaku kau tak bisa tersubstitusi dengan entah dengan siapa, Kau adalah Saphir, jauh lebih kemilau darinya, ia hanya paku, tapi dia bisa memaku semua pigura yang tak sempurnaku dengan nafasnya. Dan ladang itu sedang membesarkan 2 pohon untukku, pohon tempat harapku tersandar bahwa bisa seelok kau dan setampan aku. Pohon yang saat ini masih kupupuk agar mampu berbuah manfaat bagi pemetiknya.
"Ayah, siapa dalam foto ini?" anak lelaki sulungku bertanya pagi tadi,
Aku kaget. Foto itu, beberapa hari lalu kubuang di tempat sampah, mengapa bisa sampai kembali lagi di telapak tangan mungilnya?
"Hah....?! Oh itu....? Hm....Itu sahabat ayah dulu ketika masih sekolah. Kenapa?"
"Cantik sekali Yah, tapi hmmm....lebih cantikan ibu. Ini pacar ayah ya?"
Aku sekali lagi kaget,
"Hush....!! Itu teman ayah. Lha, adik dapat dari mana foto itu?" aku menanyainya,
"Dari tempat sampah di depan...."
Aku menatap lekat dua retina itu, mata yang seharusnya belum mampu mengartikan setiap huruf-huruf pada lekuk-lekuk wanita, mata yang seharusnya belum bisa melihat dan merasakan betapa indahnya makhluk Tuhan yang terbuat dari tulang rusuk ini. Tawaku berkeping dalam hati, rupanya zaman memang telah menua. Anak sekecil ini mulai tahu seberapa taraf pesonamu. Tapi mengapa mulutnya berucap sang ibu lebih cantik dari engkau Rani? Ah...mungkin hanya ocehan anak-anak, yang pengalaman dan testosteronnya belum berkembang sempurna.
§§§
Muram langit petang ini menggiring rasa lamaku untuk kembali memaknaimu, sumpah serapahmu padaku ketika itu. Ketika hanya kugelar perjamuan secangkir teh hangat atau mungkin hanya kuberi pinjaman bahu kala kau menangis. Aku tahu, dan aku sangat memahami. Tentang sifat pelupamu yang akut, perihal keseimbangan kaki-kakimu yang tiba-tiba membuat kau jatuh tanpa sebab, maupun tentang alergimu terhadap bulu yang sampai membuatmu berbilas hingga 10 kali sehari. Lalu kusempat menemuimu kali terakhir saat angin barat berpindah, engkau telah berubah menjadi kupu-kupu Madagaskar, yang tersohor dan menjadi milik setiap dengusan nafas manusia.
Entah mengapa, saat ini aku begitu memikirkanmu, seolah-olah tak ada hal lain yang menggelayuti otak dan kalbuku. Apa mungkin ini pertanda aku akan bersua dengan parasmu? Atau engkau akan menghubungi aku, sekedar mengirim salam dan kabar? Namun janganlah tengah malam, sebab istriku akan curiga, mengapa sang suami yang terbiasa jarang menyentuh kotak penuh teknologi itu tiba-tiba begitu bergairah untuk selalu mengecek inbox di dalamnya.
"Mas, sedang melamun apa?"
Aku tersentak, merunuhkan semua angan dibenakku. Langsung bertutup seulas senyum nakal yang kulemparkan pada garis mata yang menggairahkan ketika awal bercampurku dengannya pada malam madu.
"Oh, nggak apa-apa...." Lanjutku kemudian.
"Nggak enak badan? Mau kubuatkan teh? Tawanya lagi. senyum yang membuat aku benar-benar menggenapak hatiku.
Rani, kau dengar suaranya? Itulah ladangku. Kanyadewi, sebuah nama yang pernah menjadi primadona dunia anak muda di ibukota, sebuah legenda yang pernah diperebutkan antara anak seorang penguasa dan putra taipan batubara asal Borneo. Mirip seperti roman-roman klasik abad pertengahan di Eropa, kompetisi ini mengakibatkan sang penguasa meletakkan tongkat karena rasa malunya ketika putra yang semula terbangga menghabiskan umur pangeran batubara. Sedang di belahan waktu lain, perlahan mengheningkan namamu dari otakku, akau seorang lelaki dengan hanya selembar mimpi dan secuil idealisme yang makin tipis diantara hiruk pikuk yang berjubel mempertaruhkan segala. Dari yang waktunya terbuang hanya untuk gadis ini, tak sedikit pula mereka harus menggadaikan harga diri untuk sekedar melihat ulas bibirnya ketika tertawa, tak jarang malah dengan iman, iman yang dibarter segenggam kemenyan untuk mendengar sang perawan mengucap cinta.
§§§
Kuseruput kopi Robusta guna mengimbangi dinginnya pagi, tak tahu kenapa ini kali tak semantap biasanya. Dan aku masih tak tahu, masih tak tahu bagaimana menghilangkan wajahmu dari kepalaku. Padahal semalam telah kulunglaikan lutut, kutuai sejumput rindu di ranjang madu bersama ibu dari putraku, kau tak juga hilang. Masih datang setiap detik, setiap menit, bahkan setiap jam seperti tetesan air langit yang tak berhenti menghajar daun kamboja di taman. Hingga ingin kuantar anakku ke sekolah, barangkali basahnya jalanan bisa sedikit mengikis tentangmu. Dan denting mengiringi salamku pada sang istri yang mengantar sampai pintu. Kupacu si kotak besi untuk menantang hujan pagi ini. Melakukan apa yang sepatutnya dilakukan seorang ayah, ayah yang baik tentu saja. Ku toleh seonggok tubuh yang duduk di sampingku. Doa yang baik-baik saja anakku, dari ayah yang tertuang dalam mangkuk nasibmu. Semoga.
Akhirnya sampai di sebuah perempatan, bukan permpatan yang istimewa. Kuhela nafas yang mulai ranum. Lama kutatap warna merah menyala dari lampu pengatur lalu lintas, beralih menyapu keadaan jalan di sekitar dengan kedua mata. Tiba-tiba berhenti, memperjelas, terus memfokuskan pada sebait tubuh. Kemudian naik ke wajah. Siapa dia? Itu? Itu kau Rani?! Ingatanku langsung berdentam, tertarik ke belakang, jauh. Kaukah itu? Benarkah? Mengapa?! Apa yang terjadi dengan istanamu? Dengan manikam-manikam dan batu mulia yang kau miliki dulu? Dengan sekeranjang pujian yang kau bawa? Tak mungkin, jelaga itu tak mungkin bisa menghapus paras cantikmu, lusuhan itupun tak bisa menutupi lekuk indahmu. Aku mengerjap cepat, mengirimkan perintah.
"Rani...?!" suaraku mencoba memecah irama hujan dan desingan suara pagi, seraya kubuka kaca mobil. Tak ada tolehan, malah kudengar suara bel mobil yang merefleksikan makian para pengendaranya. Ku ulangi lagi.
"Rani.....!!!" kutingkatkan getaran pita suaraku, dengan hasil kicau tentu lebih tinggi. Masih bergeming. Hingga lampu beranjak hijau. Dia baru menoleh, menatapku. Hanya seper sekian menit, karena aku harus mengantar buah hati, sedang jam sudah berteriak-teriak mengancamku dengan istilah terlambat. Tapi aku yakin, sedetik yang lalu matamu telah bertemu mataku setelah sekian lama. Lalu harapku, engkau masih disitu ketika aku kembali nanti.
§§§
Perempatan itu masih sama seperti setengah putaran jam silam, namun lebih ramai, ada orang berseragam coklat dengan topi berlambang aparat, ada mobil dengan tanda salib merah di tubuh sampingnya, ada sekerumunan manusia, namun hujan tak berhenti. Kusebar pandangan, tak kutemukan kau lagi Rani. Akhirnya kumatikan mesin, kumekarkan payung dan turun dari mobil. Kuhirup angin ini, berharap dia dapat memberitahu dimana kau. Namun suara berbisik lain, tentang adanya tabrak lari, tentang adanya korban yang mati, tentang adanya kebodohan yang masih tertinggal di hati. Kunyalakan jejak, bergegas mendekati kerumunan itu. Mereka diam, namun banyak mata yang berbicara lantang, berbincang dengan seonggok apa yang di pandangnya di bawah. Rasa ingin tahuku membesar, kusibak perlahan kerumunan hingga mataku ikut berbicara dengan apa yang ingin kutahu. Aku tersentak, pesan sekali lagi terkirim dengan ke otak dengan cepat, lalu menuju ke kelenjar air mata, jelas ini memperbanyak dan akibatnya mataku berair.
"Kau...??!! Ah...Bagaimana mungkin..??!" bisikku pada angin.
Darah tak bisa menghapus wajah cantik yang telah bersepuh jelaga, tulang yang remukpun tak bisa menyangkal bahwa itu kau, tubuh indahmu tinggal berkubang cerita. Alam menerangkan tentang masa lalumu, yang pernah menjadi kupu-kupu hingga berharap menjadi kepompong sekali lagi. Yang pernah mencari cerita hingga berharap kembali menjadi nostalgia. Yang pernah berasal dari mimpi hingga kelak kembali ke Arasy'. Dan tampaknya kau berakhir disini, tak mengizinkanku untuk mengambil sisa hati yang ternyata padamu aku masih menggilai. []
Jam 22.56 di Semarang, 11 September 2010
Kado untuk Puteri, selamat ulang tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H