Akhirnya sampai di sebuah perempatan, bukan permpatan yang istimewa. Kuhela nafas yang mulai ranum. Lama kutatap warna merah menyala dari lampu pengatur lalu lintas, beralih menyapu keadaan jalan di sekitar dengan kedua mata. Tiba-tiba berhenti, memperjelas, terus memfokuskan pada sebait tubuh. Kemudian naik ke wajah. Siapa dia? Itu? Itu kau Rani?! Ingatanku langsung berdentam, tertarik ke belakang, jauh. Kaukah itu? Benarkah? Mengapa?! Apa yang terjadi dengan istanamu? Dengan manikam-manikam dan batu mulia yang kau miliki dulu? Dengan sekeranjang pujian yang kau bawa? Tak mungkin, jelaga itu tak mungkin bisa menghapus paras cantikmu, lusuhan itupun tak bisa menutupi lekuk indahmu. Aku mengerjap cepat, mengirimkan perintah.
"Rani...?!" suaraku mencoba memecah irama hujan dan desingan suara pagi, seraya kubuka kaca mobil. Tak ada tolehan, malah kudengar suara bel mobil yang merefleksikan makian para pengendaranya. Ku ulangi lagi.
"Rani.....!!!" kutingkatkan getaran pita suaraku, dengan hasil kicau tentu lebih tinggi. Masih bergeming. Hingga lampu beranjak hijau. Dia baru menoleh, menatapku. Hanya seper sekian menit, karena aku harus mengantar buah hati, sedang jam sudah berteriak-teriak mengancamku dengan istilah terlambat. Tapi aku yakin, sedetik yang lalu matamu telah bertemu mataku setelah sekian lama. Lalu harapku, engkau masih disitu ketika aku kembali nanti.
§§§
Perempatan itu masih sama seperti setengah putaran jam silam, namun lebih ramai, ada orang berseragam coklat dengan topi berlambang aparat, ada mobil dengan tanda salib merah di tubuh sampingnya, ada sekerumunan manusia, namun hujan tak berhenti. Kusebar pandangan, tak kutemukan kau lagi Rani. Akhirnya kumatikan mesin, kumekarkan payung dan turun dari mobil. Kuhirup angin ini, berharap dia dapat memberitahu dimana kau. Namun suara berbisik lain, tentang adanya tabrak lari, tentang adanya korban yang mati, tentang adanya kebodohan yang masih tertinggal di hati. Kunyalakan jejak, bergegas mendekati kerumunan itu. Mereka diam, namun banyak mata yang berbicara lantang, berbincang dengan seonggok apa yang di pandangnya di bawah. Rasa ingin tahuku membesar, kusibak perlahan kerumunan hingga mataku ikut berbicara dengan apa yang ingin kutahu. Aku tersentak, pesan sekali lagi terkirim dengan ke otak dengan cepat, lalu menuju ke kelenjar air mata, jelas ini memperbanyak dan akibatnya mataku berair.
"Kau...??!! Ah...Bagaimana mungkin..??!" bisikku pada angin.
Darah tak bisa menghapus wajah cantik yang telah bersepuh jelaga, tulang yang remukpun tak bisa menyangkal bahwa itu kau, tubuh indahmu tinggal berkubang cerita. Alam menerangkan tentang masa lalumu, yang pernah menjadi kupu-kupu hingga berharap menjadi kepompong sekali lagi. Yang pernah mencari cerita hingga berharap kembali menjadi nostalgia. Yang pernah berasal dari mimpi hingga kelak kembali ke Arasy'. Dan tampaknya kau berakhir disini, tak mengizinkanku untuk mengambil sisa hati yang ternyata padamu aku masih menggilai. []
Jam 22.56 di Semarang, 11 September 2010
Kado untuk Puteri, selamat ulang tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H