Aku menatap lekat dua retina itu, mata yang seharusnya belum mampu mengartikan setiap huruf-huruf pada lekuk-lekuk wanita, mata yang seharusnya belum bisa melihat dan merasakan betapa indahnya makhluk Tuhan yang terbuat dari tulang rusuk ini. Tawaku berkeping dalam hati, rupanya zaman memang telah menua. Anak sekecil ini mulai tahu seberapa taraf pesonamu. Tapi mengapa mulutnya berucap sang ibu lebih cantik dari engkau Rani? Ah...mungkin hanya ocehan anak-anak, yang pengalaman dan testosteronnya belum berkembang sempurna.
§§§
Muram langit petang ini menggiring rasa lamaku untuk kembali memaknaimu, sumpah serapahmu padaku ketika itu. Ketika hanya kugelar perjamuan secangkir teh hangat atau mungkin hanya kuberi pinjaman bahu kala kau menangis. Aku tahu, dan aku sangat memahami. Tentang sifat pelupamu yang akut, perihal keseimbangan kaki-kakimu yang tiba-tiba membuat kau jatuh tanpa sebab, maupun tentang alergimu terhadap bulu yang sampai membuatmu berbilas hingga 10 kali sehari. Lalu kusempat menemuimu kali terakhir saat angin barat berpindah, engkau telah berubah menjadi kupu-kupu Madagaskar, yang tersohor dan menjadi milik setiap dengusan nafas manusia.
Entah mengapa, saat ini aku begitu memikirkanmu, seolah-olah tak ada hal lain yang menggelayuti otak dan kalbuku. Apa mungkin ini pertanda aku akan bersua dengan parasmu? Atau engkau akan menghubungi aku, sekedar mengirim salam dan kabar? Namun janganlah tengah malam, sebab istriku akan curiga, mengapa sang suami yang terbiasa jarang menyentuh kotak penuh teknologi itu tiba-tiba begitu bergairah untuk selalu mengecek inbox di dalamnya.
"Mas, sedang melamun apa?"
Aku tersentak, merunuhkan semua angan dibenakku. Langsung bertutup seulas senyum nakal yang kulemparkan pada garis mata yang menggairahkan ketika awal bercampurku dengannya pada malam madu.
"Oh, nggak apa-apa...." Lanjutku kemudian.
"Nggak enak badan? Mau kubuatkan teh? Tawanya lagi. senyum yang membuat aku benar-benar menggenapak hatiku.
Rani, kau dengar suaranya? Itulah ladangku. Kanyadewi, sebuah nama yang pernah menjadi primadona dunia anak muda di ibukota, sebuah legenda yang pernah diperebutkan antara anak seorang penguasa dan putra taipan batubara asal Borneo. Mirip seperti roman-roman klasik abad pertengahan di Eropa, kompetisi ini mengakibatkan sang penguasa meletakkan tongkat karena rasa malunya ketika putra yang semula terbangga menghabiskan umur pangeran batubara. Sedang di belahan waktu lain, perlahan mengheningkan namamu dari otakku, akau seorang lelaki dengan hanya selembar mimpi dan secuil idealisme yang makin tipis diantara hiruk pikuk yang berjubel mempertaruhkan segala. Dari yang waktunya terbuang hanya untuk gadis ini, tak sedikit pula mereka harus menggadaikan harga diri untuk sekedar melihat ulas bibirnya ketika tertawa, tak jarang malah dengan iman, iman yang dibarter segenggam kemenyan untuk mendengar sang perawan mengucap cinta.
§§§
Kuseruput kopi Robusta guna mengimbangi dinginnya pagi, tak tahu kenapa ini kali tak semantap biasanya. Dan aku masih tak tahu, masih tak tahu bagaimana menghilangkan wajahmu dari kepalaku. Padahal semalam telah kulunglaikan lutut, kutuai sejumput rindu di ranjang madu bersama ibu dari putraku, kau tak juga hilang. Masih datang setiap detik, setiap menit, bahkan setiap jam seperti tetesan air langit yang tak berhenti menghajar daun kamboja di taman. Hingga ingin kuantar anakku ke sekolah, barangkali basahnya jalanan bisa sedikit mengikis tentangmu. Dan denting mengiringi salamku pada sang istri yang mengantar sampai pintu. Kupacu si kotak besi untuk menantang hujan pagi ini. Melakukan apa yang sepatutnya dilakukan seorang ayah, ayah yang baik tentu saja. Ku toleh seonggok tubuh yang duduk di sampingku. Doa yang baik-baik saja anakku, dari ayah yang tertuang dalam mangkuk nasibmu. Semoga.