Mohon tunggu...
Amri Sinaga
Amri Sinaga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

انظر ما قال ولا تنظر من قال

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Shalat

31 Januari 2023   12:31 Diperbarui: 31 Januari 2023   12:35 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. Pengertian Shalat dan Shalat-Shalat Fardhu

Sholat menurut bahasa adalah do'a, sedangkan menurut istilah adalah pekerjaan dan ucapan yang diawali oleh takbiratul ihram dan diakhiri oleh salam. Secara dimensi fiqh, shalat adalah beberapa ucapan atau rangkaian ucapan dan perbuatan (gerakan) yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam yang dengannya kita beribadah kepada Allah, dan menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama.[1]

Shalat-shalat fardhu 'ain itu ada 5, yaitu Shubuh, Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya'. Kefardhuan shalat yang lima itu diturunkan pada malam Isra', malam 27 bulan Rajab 10 tahun 3 bulan terhitung semenjak Muhammad diangkat menjadi rasul. Shalat Shubuh pada tanggal 27 Rajab tersebut tidak wajib dikerjakan, karena belum diketahui cara-cara mengerjakannya.

B. Orang yang Terkena Kewajiban Sholat 

 Sholat lima waktu itu wajib dikerjakan hanya oleh setiap orang muslim yang mukallaf, yaitu yang telah sampai baligh, berakal sehat, lelaki dan perempuan yang suci.

C. Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat

Orang yang meninggalkan sholat karena menentangnya sebagai kewajiban, adalah dibunuh sebagai orang kafir. Ia tidak usah dimandikan dan tidak pulak disholati. Apabila seseorang tertinggal shalatnya lantaran suatu halangan, misalnya tidur ataul upa yang benar-benar bukan main-main atau disengaja maka dalam kewajiban qadhanya ia disunnahkan melakukan dengan segera.

D. Orang Mati yang Mempunyai Tanggungan Shalat 

Barangsiapa meninggal dunia dan masih meninggalkan sholat fardhu, tidaklah wajib diqadha atau dibayar fidyahnya.

E. Pendidikan Shalat dan Ibadah Lain Terhadap Anak 

Berdasarkan hadits shahih: "Perintahlah anak kecil itu mengerjakan shalat jika telah berusia 7 tahun dan bila berumur 10 tahun, pukullah kalau ternyata ia meninggalkannya". Maka bagi orang tua wajib memukulnya asal jangan sampai membahayakan. Seperti halnya kalau sudah kuat berpuas ia diperintah berpuasa sejak berumur 7 tahun, dan dipukul setelah berumur 10 tahun kalau tidak berpuasa. Seperti halnya memerintah shalat. Adapun hikmah dari itu semua, sebagai latihan ibadah agar membiasakan diri dan tidak akan meninggalkannya.

Wajib pula atas orang tua dan lain-lain seperti di atas, melarang anak kecil dari hal-hal yang haram, mengajarnya dengan yang wajib dan hukum-hukum lain yang telah jelas, walaupun hukum sunnah semisal bersiwak, kemudian memerintah agar mematuhinya. 

Kewajiban orang tua mendidik anak seperti di atas, baru berakhir setelah menjadi dewasa dan pandai. Tentang biaya pendidikannya seperti pengajaran Al-Qur-an, adab dan lain sebagainya diambilkan dari harta anak itu sendiri. Kemudian diambil dari harta ayah, baru harta ibunya.

F. Syarat- Syarat Shalat 

Syarat ialah sesuatu tempat tergantung sahnya shalat, namun bukan merupakan bagiannya. Pembahasan syarat lebih didahulukan dari pada rukun, sebab syarat wajib dipenuhi sebelum shalat dan tetap terpenuhi (harus ada) selama shalat. Syarat-syarat shalat ada lima:

1. Suci dari hadats dan junub.. 

2. Suci badan, pakaian dan tempat shalat dari najis. Suci badannya, yang termasuk badan ialah dalam mulut, hidung dan bagian dalam pada mata. Suci pakaiannya, yaitu segala yang ia bawa (pakai). Suci tempatnya, yaitu tempat mengerjakan shalat harus bebas dari najis.

3. Menutup aurat. Bagi lelaki menutup bagian badan mulai pusat hingga lutut, dan bagi perempuan menutup seluruh badan kecuali wajah dan dua telapak tangan luar/dalam sampai pergelangan tangan.

4. Mengetahui waktu shalat telah tiba. Yaitu seseorang harus mengetahui dengan penuh keyakinan atau hanya perkiraan bahwa waktu shalat telah tiba.

5. Menghadapkan dada ke arah qiblat atau arah ka'bah.

G. Rukun-Rukun Shalat 

Rukun-rukun shalat atau disebut juga fardhu-fardhu shalat, terhitung 14 dengan menghitung masing-masing tuma'ninah sebagai satu rukun tersendiri.

1. Niat, yaitu kesengajaan hati. Dan dilakukan ketika takbiratul ihram. 

2. Takbir taharrum (takbiratul ihram). Takbir tahrrum dilakukan bersamaan dengan niat shalat, karena ia sebagai rukun shalat yang pertama juga, yang berarti wajib bersamaan dengan niat shalat.

3. Berdiri, wajib bagi orang yang mampu berdiri sendiri atau atas pertolongan orang lain. 

4. Membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat. 

5. Ruku', yaitu membungkukkan badan sehingga dua telapak tangan dapat mencapai pada lutut.

6. I'tidal, yaitu berdiri kembali setelah rukuk dan disunnahkan ketika bangkit mengucapkan "sami'allahuliman hamidah".

7. Sujud dua kali, yaitu dengan meletakkan tujuh anggota tubuh antara lain, kening, dua telapak tangan, dua lutut dan kedua ujung jari kaki, adapun meletakkan hidung disunnahkan.

8. Duduk diantara dua sujud. 

9. Tuma'ninah, yaitu berhenti sejenak atau batasnya yang jelas ialah berhentinya semua anggota-anggota badan pada setiap ruku', i'tidal, sujud, dan duduk antara dua sujud.

10. Membaca tasyahud akhir. 

11. Membaca shalawat nabi. 

12. Duduk untuk tasyahud, shalawat dan salam. 

13. Mengucapkan salam yang pertama ke sebelah kanan.

H. Hal-Hal yang Membatalkan Sholat

Shalat yang sedang dikerjakan dapat menjadi batal jika terjadi hal-hal yang membatalkannya, adapun hal-hal yang dapat membatalkan shalat adalah:

1. Berbicara dengan kalam (ucapan) manusia.

2. Perbuatan (gerakan) yang banyak selain gerakan sholat.

3. Berhadats.

4. Terkena najis.

5. Terbuka auratnya.

6. Merubah niat.

7. Membelakangi kiblat.

8. Makan dan minum.

9. Murtad. [2]

10. Merasa ragu akan putusnya shalat.

11. Sengaja menambah rukun fi'liy.

12. Yakin atau mengira perbuatan fardhu sebagai sunnah.

13. Sengaja meninggalkan suatu rukun.

14. Merasa ragu akan niat takbiratul ihram atau ragu akan syarat niat itu, padahal sholat sudah berjalan dan melampaui satu rukun qauliy maupun fi'liy.[3]

I. Pengertian Shalat Berjama'ah 

Shalat jama'ah adalah shalat yang dikerjakan secara bersama-sama dan salah satu satu dari mereka mengikuti yang lain (ma'mum mengikuti imam). Hukum shalat berjama'ah di turunkan di Madinah. 

Shalat berjama'ah dapat sah dengan melakukan shalat seorang diri bersama imam, meskipun salah satu diantar keduanya adalah anak kecil atau wanita. Namun menurut golongan Maliki, belum termasuk berjama'ah jika hanya terdiri dari seorang imam dan anak kecil[4]. Tingkatan keutamaan shalat berjama'ah sebagai berikut:

1. Dalam shalat Jum'ah (Jum'at). 

2. Shalat Shubuh di hari Jum'ah. 

3. Shalat Shubuh di hari selain Jum'ah (Sabtu, Ahad, Senin, Selasa, Rabu dan Kamis). 

4. Shalat Isya'. 

5. Shalat 'Ashar. 

6. Shalat Dzhuhur dan terakhir shalat Maghrib. 

Shalat berjam'ah dihukumi sunnah muakkad pada shalat fardhu yang lima, bukan pada shalat Jum'ah karena shalat Jum'ah wajib berjama'ah. Keutamaan shalat berjama'ah sebagaimana dalam hadits mutaffaq 'alaih yang artinya: "Shalat jama'ah melebihi di atas shalat munfarid sejauh 27 derajat". Kelebihan yang disebutkan oleh hadits di atas menunjukkan bahwa shalat berjama'ah hukumnya "sunnah" saja (bukan wajib). Hikmah kelebihannya terdapat pada 27 derajat yaitu bahwa dalam berjama'ah itu mengandung faedah sebesar itu dibandingkan dengan shalat sendiri.

Adapun hikmah atau keutamaan dari shalat berjamaah sebagai berikut: 

1. Sebagai bentuk meyiarkan agama Islam. 

2. Menghilangkan perbedaan sosial. 

3. Didoakan oleh malaikat. 

4. Dilipatgandakan pahalanya sesuai hadits di atas tadi. 

5. Diampuni dosanya melalui langkah kakinya ke masjid dan saat mengucap aamiin bersama dengan malaikat.

6. Mendapatkan naungan perlindungan dari Allah SWT pada saat tidak ada perlindungan selain dari Allah.

7. Disiapkan syurga baginya berdasarkan hadits yang artinya: "Barang siapa pergi ke masjid pada awal dan akhir siang, maka Allah akan menyiapkan baginya tempat dan hidangan di syurga setiap kali dia pergi" (HR. Bukhari dan Muslim).

8. Sebagai pemersatu umat atau penyambung ukhuwah islamiyah dan lain sebagainya.

Daftar Rujukan

[1]Drs. Sentot Haryono, M.Si, Psikologi Salat, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hlm. 59.

[2]HM. Masykuri Abdurrahman dan Mokh. Syaiful Bahri, Kupas Tuntas Shalat, (Jakarta: Penerbit Erlangga,2006), h. 86-89.

[3]Drs. H. Aliy As'ad, Terjemah Fathul Mu'in Jilid 1, (Yogyakarta: Menara Kudus,1979), h. 201-215.

[4]Abdul Qadir Ar-Rahbawi, As-Shalat 'alal Madahibil Arba'ah, (Kairo-Beirut: Darus Salam,1983), h. 321.



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun