Berkali kali lelaki itu merutuki kebodohannya.
Mengabaikan perasaannya paling dalam kepada perempuan sederhana namun rupawan yang dia sukai, hanya demi harga diri sebagai lelaki kaya, tampan dan terkenal--lalu kemudian, ketika semua akhirnya berlalu dan diketahuinya perempuan itu telah jadi milik orang lain, tinggal penyesalan tertinggal di hati.
Lelaki itu hanya bisa berapologi dan berkata dalam hati dengan pilu: "bukan jodohku".
Dan kini, kesempatan itu datang kembali.
Pada sebuah konferensi pers peluncuran film barunya.
Perempuan sederhana dan rupawan yang menjadi impiannya itu kembali hadir dihadapan. Sebagai seorang wartawan media online juga fans dirinya , seorang artis film bermasa depan gemilang.
"Sejak dulu saya mengagumi abang. Tidak hanya tampan, juga rendah hati", ucapnya memuji sambil tersipu.
" Sayang, bukan jodoh ya" sahutnya dengan nada getir. Namun tiba-tiba lelaki itu merasa tak elok mengutarakan kalimat konyol itu. Harga dirinya terusik. Sebuah kekeliruan yang fatal.
"Maaf.. Maksud saya bukan begitu, sayangnya, kita baru ketemu lagi sekarang," ralatnya buru-buru dan gugup.Â
Pipi perempuan itu sontak bersemu merah. Ia terlihat makin cantik.
"Ah abang, jodoh pasti akan datang sendiri buat abang. Sebagai artis terkenal itu bukan hal yang sulit kok buat abang. Yakin deh..Terimakasih ya sudah menyempatkan waktu untuk saya wawancarai, semoga selalu akan ada waktu untuk saya" sahut perempuan itu dengan suara lembut dan santun.
Ia lalu pamit dan berlalu dari hadapannya dengan anggun.
Lelaki itu tersenyum sembari melambaikan tangan.
Tiba-tiba ia merasa kehilangan. Sangat kehilangan.
6 bulan kemudian, perempuan wartawan itu kembali membuat janji wawancara padanya melalui managernya.
Saat bertemu berdua dalam sebuah taman dekat lokasi syuting, perempuan itu mendadak berkata:
"Bang, apakah abang percaya jodoh itu sudah ditetapkan, datang sendiri begitu saja? Bukan dicari dan diperjuangkan?"
Lelaki itu terhenyak dan kaget dengan pertanyaan tersebut.
"Maksud kamu?" tanyanya sembari mengernyitkan dahi.
Perempuan itu tertawa pelan.
Pandangannya mendadak tajam memaku kearah lelaki itu.
"Kalau saja misalnya saat ini, abang bertemu orang yang dipercaya sebagai jodoh, apakah abang akan memperjuangkannya, dengan langsung melamarnya atau membiarkan begitu saja sampai takdir datang menautkan abang dan jodoh itu dalam sebuah kesempatan yang tepat?"
Lelaki itu menatap bingung.
"Saya masih tidak mengerti", ujarnya pasrah.
"Oke tak perlu dijawab bang, tidak apa-apa. Abaikan saja, maaf jika pertanyaan ini membuat abang tidak nyaman," sahut perempuan itu sambil mengatupkan dua tangannya didada.
Dia lalu pamit dan pergi meninggalkan lelaki itu yang masih diam mematung.
Didalam mobil, perempuan itu menangis.
Surat keputusan perceraian pengadilan agama dari lelaki yang dinikahinya 6 bulan lalu diremasnya kencang. Hatinya hancur.
Ia merutuki nasib dan kebodohannya. Termasuk nekad menemui lelaki artis idolanya tadi dengan dalih wawancara. "
"Jika memang bukan jodoh, mau apa lagi. Tak ada gunanya dicari dan diperjuangkan," desisnya lirih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H