PKH : Memutus Rantai Kemiskinan Demi Keluarga Sejahtera
Iqbal, seorang anak laki-laki yang berusia 5 tahun. Berasal dari keluarga yang kurang mampu. Bapaknya bekerja serabutan. Kadang membantu tetangganya yang bandar sayuran di pasar. Â Kadang-kadang hanya membantu membersihkan kandang sapi milik tetangga, atau bahkan hanya mencabuti rumput di kebun atau di halaman rumah orang lain.Â
Upah yang didapatnya tak seberapa. Hanya cukup untuk makan sekeluarga satu dua hari saja. Tak jarang mereka hanya makan singkong rebus atau nasi dengan rebusan daun singkong dari halaman rumah. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, terpaksa ibu Iqbal bekerja sebagai pembantu rumah tangga di komplek perumahan.
Kakak Iqbal ada 6 orang. Semuanya belum ada yang berpenghasilan tetap. Kakak yang pertama, laki-laki, tidak sekolah. Hanya sempat mengenyam pendidikan sampai kelas 3 SD. Sekarang ia bekerja di rumah tetangga yang punya usaha mebel kecil-kecilan. Kakak yang kedua juga sudah tidak sekolah dan tidak bekerja. Dia anak perempuan, jadi hanya mengerjakan pekerjaan di rumah saat ibunya pergi bekerja.Â
Kakak yang ketiga kelas 11 di SMK swasta. Teteh Suryamah, namanya. Ia sangat semangat sekolah, walaupun sering dipanggil kepala sekolah karena belum bayar SPP. Tapi Teh Suryamah tak pernah malu. Malah dia menawarkan diri untuk membantu pekerjaan di laboratorium komputer sekolah, agar bisa mendapat bayaran untuk melunasi SPP.
Kakak yang keempat di SMP Swasta kelas 8. Anak laki-laki. Dia sudah malas sekolah, karena sering ditegur guru gara-gara belum bayar SPP berbulan-bulan. Kakak iqbal yang kelima duduk di sekolah dasar. Anak perempuan. Rajin berdagang makanan di sekolah. Tapi tidak cerdas. Jadi nilai ulangannya selalu buruk. Belakangan dia juga ingin berhenti sekolah karena merasa kesulitan dengan pelajarannya.
Iqbal masih duduk di bangku PAUD. Sekolah PAUD swadaya lingkungan, yang tidak berbayar di kampungnya. Iqbal senang sekolah. Walaupun tidak terlalu pandai tapi Iqbal rajin belajar. Dia ingin pintar seperti Teh Suryamah. Supaya bisa mencari uang yang banyak, begitu katanya. Kata Ibu-ibu di kampungnya, Iqbal kurang gizi. Bagaimana mau berfikir kalau asupannya pun sangat buruk. Tapi Iqbal tak peduli, asal perutnya kenyang Iqbal berangkat ke sekolah.
Belakangan Bapak Iqbal sakit. Sepulang dari kebun, selalu mengeluh sakit dada. Dengan gosokan balsem panas, sakit itu pun tak terasa lagi. Bapak Iqbal pun kembali bekerja. Iqbal tak bisa berbuat banyak. Kecuali duduk manis, tidak rewel dan mendoakan bapak dan ibu supaya diberi rejeki yang banyak oleh Allah. Seperti kata Ibu guru di sekolah, doa anak sholeh pasti dikabulkan Allah.
Suatu hari, Bapak Iqbal pingsan, sepulang dari kebun. Dengan bantuan para tetangga yang baik hati, bapak Iqbal di bawa ke rumah sakit dan langsung mendapat pertolongan pertama. Iqbal sedih. Ibu pasti tak punya uang. Jangankan untuk ke rumah sakit, beli beras pun tak ada uang. Tapi Alhamdulillah, ternyata Bapak punya Kartu Indonesia Sehat. Lalu dengan mudah Bapak masuk dan dirawat di rumah sakit. Ternyata Bapak punya penyakit jantung bawaan.
Di rumah, Aa, kakak Iqbal yang pertama mulai berpikir bagaimana caranya supaya Bapak tidak usah bekerja tapi resiko dapur bisa teratasi. Ujang, kakak Iqbal yang keempat mengusulkan untuk  keluar dari sekolah. Supaya tak usah keluar uang banyak, kilahnya. Aa tidak setuju. Ia tidak ingin adik-adiknya putus sekolah. Kata Aa, kalau putus sekolah kita akan tetap miskin terus menerus. Walaupun Aa tidak sekolah, karena dulu Bapak sama Ibu tidak punya biaya sama sekali. Iqbal harus terus sekolah. Teteh Suryamah juga, supaya cepat dapat kerja. Semua setuju dengan ide Aa.