Pak Dul mengangguk pelan lalu menghela nafas. "Saya paham, Mas. Mulai sekarang, saya akan lebih hati-hati dengan kata-kata saya. Kesadaran yang lambat muncul, lalu meminta maaf, tanpa menganggap kekeliruan sebelumnya sekadar guyonan biasa"
Sejak kejadian itu, Pak Dul belajar banyak. Guyonannya tetap jadi daya tarik warung kopi, tapi kini ia lebih bijak. Tidak ada lagi candaan yang mengarah ke fisik, pekerjaan, atau hal-hal pribadi. Ia sadar, batasan guyonan bukanlah soal lucu atau tidak, tapi soal apakah itu membawa manfaat atau malah menyakitkan. Kita berharap, Guyonan itu menjadi seni yang mengundang tawa dan mendekatkan rasa, bukan sebaliknya, merujak hati layaknya menyeruput kopi tanpa air dan gula. Guyonan seharusnya seperti kopi yang hangat, menyenangkan, dan membuat orang kembali mencarinya. Bukan seperti kopi yang terlalu pahit hingga membuat orang enggan untuk mencicipinya lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H