Mohon tunggu...
Suparmin
Suparmin Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik Tingkat SMA di Kabupaten Gowa, Sulsel

Tebarkanlah kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guyonan Layaknya Kopi, Seharusnya Membahagiakan

4 Desember 2024   09:04 Diperbarui: 4 Desember 2024   13:56 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi dan Senyuman. Sumber: Wordpress

Saya orang yang suka guyonan. Sesekali jika bersua dengan kawan lama, saya yang menjadi objek utama guyonan. Semua masa lalu diungkit dan dibumbu-bumbui. Akan tetapi, itu hanya terjadi pada konteks selama kita bersama dengan topik yang juga memang kita semua paham dengan status yang sama. Kali ini, saya mencoba berkisah sebuah guyonan di warung kopi.

Nama dan tempat pada kisah berikut fiktif belaka. Baik, mari kita mulai ceritanya.

Di sebuah warung kopi sederhana, Pak Dul, penjaga warung, sedang melayani pembeli sambil sesekali melempar candaan. Warung itu selalu ramai, bukan hanya karena kopinya yang enak, tapi juga karena suasana hangat yang diciptakan oleh guyonan-guyonan Pak Dul. Bahkan Pak Dul selalu mencari referensi-referensi guyonan agar setiap hari tidak ada yang berulang alias basi.

Suatu pagi yang sendu, datanglah seorang pengunjung baru, Mas Seno, yang baru saja pindah dari kota. Ia ingin menikmati suasana pagi di desa tempatnya akan menetap. Ia memesan kopi dan duduk di sudut. Sesekali menatap ke sekeliling warung sambil tersenyu ke penyeduh kopi. Pak Dul, seperti biasa, mulai menghidupkan suasana dengan guyonannya.

"Eh, Mas Seno, dari tadi saya lihat wajahnya kayak artis lho!" Pak Dul mulai membuka sapaan dengan santai. "Artis penjual es krim keliling, hahaha!" Semua tamu tertawa, termasuk Mas Seno, walau senyumnya agak kaku. Pak Dul tidak menyadari itu. Dia merasa sukses membuat suasana pagi lebh hangat dan menjadikan pengunjung lebih bersemangat.

Pagi itu Pak Seno pulang dengan santai. Dia masih menganggap peristiwa tadi biasa-biasa saja. Beberapa hari kemudian dia berkunjung lagi. Kali in berkunjungnya malam. Dia ingin merasakan sensasi berbeda. Belum lama duduk, guyonan serupa berlanjut. Kali ini, Pak Dul lebih bersemangat. "Mas Seno ini bener-bener mirip penjual es krim, lho. Tapi kalau yang itu lebih sukses, soalnya nggak cuma jualan es, tapi juga jualan senyum!" Orang-orang tertawa lagi, lebih keras dari sebelumnya.

Namun, siapa sangka, malam itu Mas Seno pulang dengan hati yang berat. Guyonan yang dianggap lucu oleh Pak Dul dan pengunjung lainnya ternyata membuatnya merasa direndahkan. Ia seorang pekerja keras yang sedang berjuang memulai usaha kecil di kampung itu. Di kota, dia belum merasakan kehidupan nyaman. Mengadu nasib di desa menjadi harapan cerahnya saat ini.

Esok harinya, Mas Seno tidak lagi datang ke warung kopi. Hal ini berlanjut ke hari berikutnya. Siang, Mas Seno tidak ditemukan di warung. Malam pun demikian. Beberapa pengunjung sudah mulai bertanya-tanya. Mereka mulai berspekulasi tentang ketidakhadiran Mas Seno di meja sudut spesial untuknya. Pak Dul pun menyadari ada yang salah. Ia akhirnya mengunjungi rumah Mas Seno.

Ketika sampai dan bertatapan dengan Mas Seno dia langsung berucap, "Mas Seno, saya tidak bermaksud menyakiti. Semua itu hanya guyonan ringan. Saya nggak tahu kalau Mas merasa tersinggung," kata Pak Dul dengan muka serius.

Mas Seno, yang awalnya ragu, akhirnya menjawab, "Pak Dul, saya tahu guyonan itu untuk menghidupkan suasana. Tapi, kadang yang lucu di satu sisi, bisa jadi menyakitkan di sisi lain. Saya cuma ingin dihargai seperti orang lain, tanpa perlu jadi bahan candaan. Biarkanlah saya mengerjakan apa yang bisa saya kerjakan. Menikmati kopi tanpa dirundung sambil tertawa."

Pak Dul mengangguk pelan lalu menghela nafas. "Saya paham, Mas. Mulai sekarang, saya akan lebih hati-hati dengan kata-kata saya. Kesadaran yang lambat muncul, lalu meminta maaf, tanpa menganggap kekeliruan sebelumnya sekadar guyonan biasa"

Sejak kejadian itu, Pak Dul belajar banyak. Guyonannya tetap jadi daya tarik warung kopi, tapi kini ia lebih bijak. Tidak ada lagi candaan yang mengarah ke fisik, pekerjaan, atau hal-hal pribadi. Ia sadar, batasan guyonan bukanlah soal lucu atau tidak, tapi soal apakah itu membawa manfaat atau malah menyakitkan. Kita berharap, Guyonan itu menjadi seni yang mengundang tawa dan mendekatkan rasa, bukan sebaliknya, merujak hati layaknya menyeruput kopi tanpa air dan gula. Guyonan seharusnya seperti kopi yang hangat, menyenangkan, dan membuat orang kembali mencarinya. Bukan seperti kopi yang terlalu pahit hingga membuat orang enggan untuk mencicipinya lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun