p { margin-bottom: 0.08in; }
p { margin-bottom: 0.08in; }
Judul Buku : Feminisme, Femininitas, dan Budaya Populer
Penulis : Joanne Hollows
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan : I, Maret 2010
Tebal : 295 halaman
ISBN : 978-6028-252287
Diskursus feminisme, meski sudah lama ada sejak era 1960-1970-an, tetapi eksistensinya masih ‘seksi’ diperbincangkan hingga kini, baik dalam ranah domestik maupun publik. Mengingat masih maraknya realitas fenomena sosial yang mendiskreditkan perempuan dan budaya patriarki dalam laku kehidupan sehari-hari.
Disamping itu, diskursus feminisme -khususnya di era kini- menjadi menarik, lantaran tema yang disuguhkan tidak hanya melulu ihwal pembebasan atau kebebasan memperjuangkan hak asasi kaum hawa, tetapi juga menyuguhkan tema-tema yang erat kaitannya dengan budaya populer. Seperti isu yang mengemuka, bahwa feminisme acapkali menolak “kehadiran” budaya populer untuk “disenggamai”, padahal faktanya feminisme butuh budaya populer. Persoalannya, ada apa sebenarnya dibalik agenda feminisme, hingga membuat relasinya dengan budaya populer (terkadang) “tidak romantis”? Apa pula yang melatarbelakangi munculnya feminisme gelombang kedua? Buku berjudul Feminisme, Femininitas, dan Budaya Populer sengaja dihadirkan penulisnya untuk mengupas pelbagai persoalan tersebut.
Joanne Hollows membuka bukunya dengan mendedah inti pemikiran kunci feminisme gelombang kedua, yakni pelbagai macam pemikiran dan praktik yang dikaitkan dengan pergerakan perempuan di era 1960 dan 1970-an. Pemikiran kunci yang dimaksud adalah gagasan bahwa ‘hal yang pribadi bersifat politik’. Maksudnya, permasalahan pribadi yang dialami perempuan ketika dikucilkan adalah permasalahan umum yang dialami oleh semua perempuan dalam kelompok tersebut, meski bentuk politik lain seringkali membedakan antara ranah ‘publik’ pada politik dengan ranah ‘pribadi’ pada keluarga. Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya bila Elizabeth Fox Genovese (1991: 11) berpendapat bahwa ‘feminisme kini telah mengarah pada penyederhanaan hubungan pribadi, dengan memaksakan bahwa hubungan pribadi sebenarnya bersifat sangat politis’.