Mohon tunggu...
ammar machmud
ammar machmud Mohon Tunggu... -

Arek kelahiran kudus yang mendedikasikan dirinya untuk progresivitas dalam berdiaklektika dalam pelbagai keilmuan.Pelbagai karyanya bisa dikunjungi di www.senjaputih.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mendedah Feminisme Populer

5 April 2011   03:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:07 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam buku ini, Hollows juga memaparkan pelbagai praktik konsumsi dan identitas budaya serta praktik populer yang sering terjadi pada beberapa kasus kajian; seperti film perempuan, fiksi romantis, opera sabun, budaya konsumsi material, fashion, kecantikan, budaya anak muda dan musik populer. Semua itu disuguhkan Hollows secara runtut dan kritis sembari menyuguhkan pelbagai keistimewaan dan ‘kelatahannya’.

Yang terpenting, Hollows menegaskan bahwa inti tema utama yang ada di seluruh buku ini adalah, bahwa apa yang tampaknya perempuan bukanlah sesuatu yang tetap untuk selamanya, tetapi merupakan suatu subjek transformasi, persaingan, dan perubahan. Sehingga, meskipun penting mengetahui tentang keberlanjutan dan juga perubahan, tapi tidak berarti terdapat identitas feminin abstrak atau kondisi yang melampaui sejarah. Kasarnya, menjadi perempuan di era tahun 1920-an sangat berbeda dengan menjadi perempuan pada tahun 1950-an, 1960-an, apalagi tahun 1980-an (hal.45).

Sedangkan istilah “feminisme populer” yang digunakan oleh Hollows muncul sebagai hasil dari “persenggaman” antara feminisme dan budaya populer. Feminisme yang semula ‘malu-malu kucing’ menentang akulturasi budaya populer, alih-alih justru berhasrat menyenggamainya. Ini dibutikan dengan adanya pengulangan oposisi antara ‘feminis’ dan ‘perempuan biasa’. ‘Feminis’ dan ‘perempuan biasa’ bukanlah cerminan identitas yang telah ada sebelumnya, tetapi merupakan produk cara ‘kita menciptakan kelompok-kelompok dengan kata’ (Boerdieu dikutip dalam Thornton 1995: 101). Jadi, kalau boleh saya menyebutnya, feminisme dengan budaya populer kini sedang mengalami ambivalensi. Yakni, disatu sisi feminisme menolak ‘seruan’ budaya populer dan femininitas, tetapi disisi lain feminisme menginginkan penyatuan keduanya.

Hollows menutup bukunya dengan memberikan kesimpulan bahwa pergeseran yang terjadi dalam kritik budaya feminis, dari situasi yang feminis, kemudian memosisikan diri di luar dan bertentangan dengan populer ke arah posisi yang membuat para feminis tidak hanya mempertimbangkan bagaimana bentuk dan praktik populer dapat mengutamakan kompetensi feminin yang secara tradisional tidak dihargai, tetapi juga mengeksplorasi bagaimana feminisme sendiri telah memasuki wilayah populer (hal.263).

Meski demikian apa yang ditawarkan oleh Joanne Hollows lewat pelbagai metode dan pendekatan teorinya, bagi saya belum selesai untuk mendedah kajian feminisme populer, karena hal ini baru saja diuji-teorikan dalam tataran teoritis ansich, belum dalam ranah praksis. Tantangan riilnya, mampukah para feminis dunia merealisasikan kajian feminisme populer dalam dunia nyata? Tantangan ini butuh dijawab, agar diskursus feminisme tidak hanya menggema dalam ranah teoritis saja, tapi juga dapat terimplementasi dalam ranah praksis.

Ammar Machmud, koordinator Jaringan Walisongo, tinggal di Semarang

p { margin-bottom: 0.08in; }

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun