Mohon tunggu...
Bagas De
Bagas De Mohon Tunggu... -

Buruh sosial. Tinggal dan bekerja di Slovakia-Eropa Tengah. Aslinya, Anak Kampung, dari Nehi-Enoraen, ntt. Laman blog pribadi: www.confessionoflife21.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pengungsi Politik (Ketika Anies Baswedan Meniti "Jalan" Mahfud MD)

28 September 2016   13:26 Diperbarui: 28 September 2016   19:48 1587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapakah Anies Baswedan (AniesB)? Mungkin hanya sedikit orang yang mengenalnya sebagai suami dari Fery Farhati Ganis, atau ayah dari Mutiara Annisa Baswedan, Mikail Azizi Baswedan, Kaisar Hakam Baswedan, dan Ismail Hakim Baswedan. Juga mungkin tidak cukup banyak orang yang mengenalnya sebagai mantan rektor Universitas Paramadina.

Namun saya sedikit bertaruh bahwa Anies B lebih banyak dikenal publik sebagai mantan juru bicara Joko Widodo (Jokowi) pada perhelatan Pilpres 2014 kemarin, dan juga sebagai mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dari Pemerintahan Jokowi saat ini.

Belum sempat redup perbincangan tentang pemecatannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan oleh Jokowi, AniesB kemudian menjadi pusat perhatian dan perbincangan publik lagi di jelang perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017.

Kemarin, Jumat 23 September 2016, AniesB didaftarkan sebagai calon gubernur DKI Jakarta mendampingi Sandiaga Uno (Sandi), kader Partai Gerindra, sebagai calon wakil gubernur, di KPUD DKI Jakarta. AniesB dan Sandi diusung koalisi gabungan Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Keikutsertaan AniesB dalam pertarungan Pilkada DKI Jakarta 2017, dan dari kubu pimpinan Prabowo Subianto (Prabowo), tampaknya menjadi pemicu kasak-kasuk di mata, telinga, dan mulut publik, termasuk dalam literasi media-media audiovisual.

Pilihan AniesB untuk "mengungsi" ke, tepatnya menerima pinangan, kubu Prabowo di jelang Pilkada DKI Jakarta 2017 mengingatkan saya akan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI periode 2008-2013, Mohammad Mahfud MD (Mahfud MD).

Dulu, di jelang Pilpres 2014, Mahfud MD digadang sebagai salah satu calon wakil presiden potensial dari Partai Kebangkitan Bangsa. Ia digadang bakal mendampingi sang calon presiden kala itu, Jokowi.

Namun, koalisi gabungan di bawah komando Megawati Soekarno Putri (Megawati) kemudian menjatuhkan pilihan pada Mohammad Jusuf Kalla (JK) sebagai calon wakil presiden. Jk pun maju sebagai pendamping Jokowi di Pilpres 2014.

Pasca keputusan itu, Mahfud MD memilih "mengungsi" ke kubu pimpinan Prabowo. Di kubu ini, Mahfud MD diberi jabatan Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, calon presiden dan wakil presiden 2014-2019, penantang Jokowi-JK.

Mahfud MD kemudian mengundurkan diri dari jabatan Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta pasca pemungutan suara, tepatnya di saat kubu Prabowo sementara mensengketakan jumlah perolehan suara Pilpres 2014 di meja Mahkamah Konstitusi.

Apa yang dilakukan Mahfud MD dulu, pun apa yang dilakukan AniesB sekarang ini, yakni "meyeberang" dari - sebut saja - Kubu Jokowi atau Megawati ke Kubu Prabowo, dkk., merupakan suatu pilihan yang wajar dalam berpolitik. Pilihan itu merupakan bagian dari hak politik setiap warga negara dan dijamin sepenuhnya oleh UU.

Pertanyaannya adalah mengapa publik tampak begitu reaktif dengan pilihan politik yang diambil Mahfud MD atau pun AniesB saat ini?

Boleh jadi, sikap reaktif publik tersebut mengalir keluar via asumsi naif berikut: pilihan untuk "mengungsi" - dalam arti politik tentunya - dari Mahfud MD dan AniesB merupakan "sikap protes/perlawanan" atas keputusan politik tertentu.

Apakah sikap protes/perlawanan itu boleh dibilang sebagai aktus pembelotan atau pengkhianatan dalam politik? Tentu saja, point penilaian ini amat bergantung pada siapa dan dari sudut mana kita memandang.

Dulu, atas hasutan dan provokasi teman-temannya sesama senator yang memiliki rasa dengki, cemburu, dan hasrat untuk merebut kedudukan dan kekuasaan dari tangan Kaisar Gaius Julius Caesar (100-44 SM), Marcus Junius Brutus Caepio atau Brutus (85-42 SM) rela berpaling dan mengkhianati Sang Kaisar.

Hasrat untuk meraih kedudukan dan kekuasaan merasuki Brutus dan komplotan senatornya, atau yang dikenal dengan Kelompok Liberatores (Pembebas).

Keinginan untuk segera menggenggam kekuasaan telah membuat Kelompok Liberatores buta dan tuli terhadap panggilan dan nurani kemanusiaan, termasuk mengabaikan nilai moral yang melekat pada diri dan jabatan mereka sebagai seorang senator.

Ending dari kisah Brutus adalah Sang Kaisar mati dibunuh, sedang Brutus ditangkap dan diadili oleh para Senatus sebagai pengkhianat kerajaan. Brutus juga mendapat julukan baru dengan frasa “Sic semper tyrannis!” (untuk pendengki dan pengkhianat, selamanya).

Brutus kemudian mengakhiri hidupnya sendiri - bunuh diri - sesudah kalah pada Pertempuran Kedua Philippi pada tahun 42 SM. Itu cerita pembelotan/pengkhianatan Brutus.

Dengan paparan kisah Brutus di atas, sebenarnya kita sudah cukup paham bahwa cerita tentang pembelot atau pengkhianat dalam politik dan perebutan kekuasaan bukanlah sesuatu yang baru terjadi dewasa ini.

Jadi, sekali lagi, disposisi politik yang sudah dan sedang diperagakan Mahfud MD dan AniesB hanyalah fenomen lama/ulang-an dalam politik yang secara acak muncul dalam pribadi, masa dan kondisi politik yang berbeda.

Lantas, mengapa reaksi publik atas fenomen "pengungsian dalam politik" yang dipilih Mahfud MD atau AniesB menjadi riuh padahal itu adalah sebuah fenomen yang lumrah?

Oleh rekam jejak dan kesaksian sejarah, termasuk konstruksi media-media publik,  AniesB atau pun Mahfud MD, termasuk Kubu Jokowi dan Megawati atau pun Basuki Tjahaja Purnama, tampaknya dilihat - oleh separuh publik - sebagai tokoh-tokoh protagonis dalam cerita dan panggung politik dewasa ini.

Pun, oleh rekam jejak dan kesaksian sejarah, termasuk konstruksi media-media publik, Fadli Zon, Muhammad Taufik, Fahri Hamzah, Sandiaga Uno, dll, di bawah komando Prabowo dan PKS, tampaknya dilihat - oleh separuh publik - sebagai tokoh-tokoh antagonis.

Bawaan "faktum sosial-politik" di atas dihidupi secara sirkular-elastis oleh para politisi, sedang masyarakat-awam merekam atau menerima "faktum sosial-politik" itu secara linear, bahkan cenderung statis.

Jadi, hemat saya, pola pikir linear-statis tentang rekam jejak, kesaksian sejarah, termasuk citra protagonis/antagonis politisi, yang tertanam di benak - sebut saja - massa-awam, suatu kumpulan masyarakat yang jauh dari lingkaran inti politik dan pusat-pusat kekuasaan, sedikit banyak menjadi penyebab hangatnya perdebatan publik manakala Mahfud MD atau AniesB, atau juga - misaalnya - Setya Novanto (Novanto) dan Partai Golkar, dll, memutuskan untuk merubah/mengalihkan disposisi politiknya.

Sebagai catatan penutup, Brutus ditangkap dan diadili pada kisah pengkhianatannya atas Kaisar Julius Caesar. Mahfud MD memilih "mengungsi" dan diberi jabatan Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, dan kemudian ia menanggalkannya, pada kisah Pilpres 2014. Pun, Novanto memilih "mengungsi" dan Golkar dijatahi menteri dalam Kabinet Jokowi pada kisah pasca Pilpres 2014 dan keterpilihannya sebagai Ketua Umum Golkar, dll.

Mungkinkah ada sesuatu yang baru datang dari AniesB yang memilih "mengungsi" dan dijatahi Calon Gubernur dalam drama politik Pilkada DKI Jakarta 2017? Anda bebas menilainya. Itu saja dulu deh. Wasalam. (bagas de')

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun