Sudah hampir dua tahun Susilo Bambang Yudoyono atau SBY lengser dari kursi presiden RI. Setelah kursi presiden RI dialihkan kepada Joko Widodo (Jokowi), Presiden terpilih 2014, SBY mengambil alih kursi kepemimpinan Partai Demokrat (PD).
Bagi sebagian kalangan, termasuk internal PD, pengambilalihan SBY atas kursi kepemimpinan PD merupakan pilihan politik yang tepat. Sebab, PD sedang dirundung musibah aksi korupsi yang akut. Dengan kehadiran dan pola kepemimpinan SBY, PD diharapkan bisa berevolusi dan kepercayaan publik atas PD bisa dipulihkan.
Pertanyaannya adalah pola kepemimpinan macam mana yang diharapkan dari SBY supaya bisa memulihkan moral PD di mata publik?
Tentu saja, bukan konsep kepemimpinan negeri autopilot yang dibutuhkan sebagai obat penyembuh. Juga, bukan satiran saya prihatin yang dibutuhkan sebagai tablet pemulih.
Sebab, konsep negeri autopilot atau satiran saya prihatin telah menghasilkan banyak koruptor, khususnya dari kalangan internal PD, dan pada saat yang sama, sebagai akibat, bangsa Indonesia kehilangan banyak momen dalam upaya membangun proyek infrastruktur.
Sepuluh tahun memimpin bangsa Indonesia, tentu ada banyak hal positif yang sudah dibuat atau berhasil dicapai rezim SBY. Namun di samping itu, konsep negeri autopilot dan satiran saya prihatin plus badai korupsi akut dari kalangan internal PD juga telah menjelma menjadi top branding bagi SBY dan rezimnya.
Konsep negeri autopilot dan khususnya satiran saya prihatin kemudian menjadi semacam bakat alami yang sulit ditanggalkan  SBY di mana dan kapanpun.
Dalam cara pandang tertentu, bakat alami itu bagus. Namun problemnya adalah ketika bakat alami itu masih diagungkan, atau malah dipakai sebagai topeng penutup borok minus pembangunan dan aib korupsi dari internal PD.
Bisa jadi, apa yang dilakukan SBY saat ini, dengan bakat alaminya, merupakan bagian dari aktus mencuci wajah kusam SBY dan PD di mata publik. Bagaimana tidak?
(1) Ketika semua anggota DPR RI dari PD menyatakan all out dari pemungutan suara untuk pengesahan UU MD3, SBY kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu Pilkada).
(2) Ketika separuh publik mengapresiasi lahkah berani Jokowi menghapus subsidi BBM dan mengalihkannya untuk menggenjot pembangunan infrastruktur, SBY kemudian mengeluarkan argumentasi bahwa kebijakan Jokowi itu sesungguhnya telah mengabaikan fakta lapangan tentang tertekannya perekonomian rakyat, dan oleh kebijakan itu pula utang luar negeri semakin bertambah.