Di hadapan propaganda kegagalanya, Ahok malah berkehendak maju lagi dalam kompetisi Pilkada DKI Jakarta 2017, dan lewat jalur independen pula. Suatu pilihan yang cukup berani, kalau tidak mau dibilang aneh.
Bisa jadi, untuk nyalinya yang besar di hadapan digdaya barisan anggota DPRD DKI Jakarta, plus kesuksesannya menata Provinsi DKI Jakarta, kehendak politik Ahok yang berani bin aneh mendapat tanggapan positif dari kelompok TA. Dan dalam perjalanan waktu, partai Nasdem dan Hanura turut bergabung dalam barisan pendukung Ahok.
Konsolidasi dan militansi dukungan dari TA, Nasdem dan Hanura terhadap Ahok terkonfirmasi secara riil lewat pengumpulan KTP yang sudah mencapai angka 976.000. Dengan ini, syarat jalur perseorangan terpenuhi dan Ahok bisa maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Tanggapan positif dan kerja keras dari TA, Nasdem dan Hanura atas kehendak politik Ahok di tengah keterjepitan politik yang Ahok dan atau lawan politik Ahok ciptakan boleh kita sebut sebagai a blessing in disguise bagi Ahok.
Kedua,"konspirasi politik" yang terkemas rapi dalam pengesahan revisi UU Pilkada No. 8 Tahun 2015.
Ada dua item yang cukup menghebohkan dalam revisi UU Pilkada No. 8 Tahun 2015. Sebut saja, soal verifikasi faktual KTP dukungan dari calon perseorangan dan pembatasan terhadap pemilih pemula dalam Pilkada.
Bagi separuh publik, kedua item itu merupakan bagian dari-sebut saja-konspirasi politik yang coba dimainkan oleh lawan-lawan politik Ahok. Tujuan dari konspirasi politik ini adalah (1) Ahok bisa gagal dalam bursa pencalonan gubernur dan atau (2) Ahok bisa diinisiasi ke dalam salah satu parpol tertentu jelang Pilkada 2017.
Di tengah badai konspirasi politik tersebut, partai Golkar justru hadir dan secara resmi menyatakan dukungan politik bagi Ahok.
Dukungan politik Golkar atas Ahok, hemat saya, dapat dibaca sebagai kesuksesan Golkar (1) "mengamankan" Ahok dari bahaya kegagalan pencalonan akibat rumitnya verifikasi faktual sekaligus meng-counter politik last minute penetapan calon gubernur yang sedang diperagakan PDI-P, dan (2) mempersempit peluang parpol lain, PDI-P misalnya, untuk "mencaplok" Ahok jelang pendaftaran balcagub DKI Jakarta jalur parpol.
Terlepas dari kepentingan politik apa yang hendak dicapai Golkar lewat momentum Pilkada DKI Jakarta 2017, hemat saya, dukungan politik Golkar atas Ahok saat ini sebagai a blessing in disguise bagi Ahok.
                                  ***