Mohon tunggu...
Ami Ulfiana
Ami Ulfiana Mohon Tunggu... Penulis - Gadis Pribumi

Untuk mereka yang menyimpan jiwanya rapat-rapat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ruang Luka untuk Alana - Part of Heal

8 Maret 2021   20:46 Diperbarui: 8 Maret 2021   21:23 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kamu ndak makan Dek?" Tanya Awan yang sedang menikmati sepiring nasi lengkap dengan sop bayam, sambal terasi dan tempe mendoan yang ku masak pagi tadi.

"Nanti saja Mas." Jawabku sembari memasukan kotak bekal pada ransel kerja Awan.

Awan menggangguk. Selepas itu tak ada lagi kalimat menghiasi sarapan pagi ini selain bunyi sendok dan garpu yang kian beradu dengan piring. Bodohnya lagi aku seperti kehilangan kosa kata untuk sekedar berbasa basi.

"Kalau jam sepuluh Mas belum pulang, tidur saja dulu. Ndak usah nunggu."

Aku mengiyakan seperti biasanya, kemudian mencium tangan Awan yang dibalas kecupan pada keningku. Ritual sembilan tahun yang tak pernah terlewat.

Mobil Isuzu Panther keluaran 1996 Awan melesat meninggalkan gerbang yang mulai dimakan karat. Keempat roda nya menyisakan jejak yang tercetak tebal pada tanah becek sisa hujan kemarin sore. Dua tahun terakhir aku dan Awan memutuskan tinggal di rumah sederhana pinggiran Kaliurang, cukup jauh dari pusat kota. Dua kali kita sempat berpindah rumah, sebelum pada akhirnya memilh rumah ini. Tak ada teman maupun sanak saudara yang tinggal disekitar sini, sebab sejak kematian Alana kita sepakat menjalani kehidupan berdua tanpa campur tangan siapapun.

Rumah sederhana ini sebenarnya terbilang cukup mewah untuk ukuran rumah akhir tahun 90 an. Rumah berlantai satu dengan satu ruang tamu, satu ruang tengah yang menampung televisi serta komputer kesayangan Awan, dua kamar mandi, satu dapur yang menjadi tempat tongkronganku setiap pagi, tiga kamar, satu sudah beralih fungsi menjadi penampungan buku dan tak lupa teras dengan kolam ikan kecil di pinggarannya.

"Loh bukannya masih nanti jam sembilan?"

"Baiklah, lima menit lagi saya be..."

Tutt tuttt tuttt. Sambungan telepon diputus bahkan sebelum aku menyelesaikannya. [PoV --- Anggi]

Mobil kupacu meninggalkan kawasan rumahku, rumah sederhana di pedesaan pinggiran Kaliurang. Sengaja ku beli rumah ini untuk mengurangi kebencianku pada perkotaan, tempat dimana aku kehilangan Alana gadis kecil ku yang tak berdosa. Aku bekerja sebagai wartawan di salah satu media besar di kota. Ironinya, anakku meregang nyawa tepat dilokasi dimana aku ditugaskan meliput. Ironisnya lagi, aku yang harusnya menjadi orang pertama yang melindunginya, justru menerima kenyataan pait jika Alana sekarat meregang nyawa, sendirian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun