Keempat, desakan dari berbagai pihak karena buruknya kinerja sebagian menteri dalam kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin. Â Di antara yang mendesak adalah anasir pendukung atau relawan Jokowi seperti Projo, Jokomania atau lainnya.Â
Menteri yang terkena evaluasi mereka antara lain Erik Tohir Menteri BUMN, Luhut Binsar Panjaitan Menteri Kordinator Kemaritiman, juga KSP Moeldoko.
Kelima, diterbitkanya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 77 Tahun 2021 tentang Wakil Menteri. Perpres ini merupakan bentuk perubahan kedua atas Perpres Nomor 60 Tahun 2012.Â
Melalui Perpres Nomor 77 Tahun 2021 Presiden menetapkan uang penghargaan bagi wakil menteri yang masa jabatannya selesai. Dan tentu kekosongan pos tersebut akan diisi dengan  pejabat baru.
Catatan
Bagi saya yang awam politik kapan reshuffle akan dilakukan itu terserah presiden. Bukankah itu hak prerogatif beliau?
Saya hanya memberi catatan, pertama reshuffle dilakukan berdasarkan kebutuhan. Artinya jika dipandang tak perlu jangan dilakukan.Â
Presiden sebagai pimpinan dalam kabinet pasti mengetahuinya. Reshuffle dianggap perlu ketika kinerja menteri progresnya dipandang mandek, sangat lamban atau seringkali blunder. Salah langkah, salah mengambil kebijakan, gemar membuat gaduh. Sebab kebinet merupakan satu tim kerja. Satu pihak tidak bergerak, berjalan di tempat akan menghambat yang lain atau tim secara keseluruhan.
Kedua, reshuffle berbasis kinerja. Bukan karena desakan publik atau desakan pemimpin partai. Presiden sepantasnya mempertahankan independensi dirinya dalam mengambil keputusan mereshuffle.Â
Saya yakin Presiden Jokowi memiliki penilaian yang detail terkait kinerja setiap menteri. Parameternya cukup simple, yakni apa yang ditugaskan kepada yang bersangkutan atau secara umum adalah visi dan misi Presiden.
Ketiga, pilih mereka yang memilki profesionalisme. Boleh dari unsur partai atau lainnya. Dalam memilih menteri Presiden wajib mengedepankan profesionalisme.Â