Belakangan pembicaraan publik ramai membicarakan tentang kasus Meliana. Seorang warga Tanjung Balai, Sumatera Utara yang divonis 18 bulan penjara karena memprotes volume pengeras suara azan di lingkunganya.
Ia dinilai melanggar pasal penodaan agama. Oleh majlis hakim, Meliana dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156 KUHP tentang penghinaan terhadap suatu golongan di Indonesia terkait ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Banyak pihak yang menyangkan putusan hakim tersebut. Sebab pasal yang digunakan hakim dalam menjerat yang bersangkutan dinilai bermasalah sejak lama.
Pasal itu pula yang diterapkan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok terkait pidatonya di pulau Seribu.
Karenanya, Mantan Ketua MA Bagir Manan berpendapat tidak sepatutnya Meiliana dibui.
Menurutnya sikap Meilana minta kecilkan suara azan adalah bentuk berpendapat.
Meliana hanya mengeluhkan suara azan yang dinilainya terlalu keras dan mengganggu. Dan itu hak seorang warga negara yang dilindungi oleh UU.
Hal senada disampaikan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin. Baginya, Â protes pada kerasnya volume pengeras suara azan bukan bentuk penistaan agama.
Tindakan seseorang dapat dikategorikan menodai agama jika sudah menghinanya sebagai ritual keagamaan.
Misalnya menjelekkan ritual umat beragama, termasuk azan. Jika hanya mengeluh, sedianya tidak diartikan telah menistakan agama.
Sementara itu wakil Presiden Jusuf Kalla yang merupakan Ketua Dewan Masjid Indonesia merasa prihatin dengan apa yang menimpa Meliana.