Kasus mega korupsi KTP elektronik memasuki babak baru. KPK akhirnya menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka. Keputusan tersebut diambil penyidik KPK setelah fakta-fakta persidangan menunjukkan bukti-bukti yang cukup kuat untuk menjeratnya. Setya tidak lagi berdaya untuk menghindar dari kasus yang diduga telah merugikan uang negara sebanyak Rp 2,3 triliun tersebut.
Bagi publik penetapan Setnov sebenarnya tidak  mengejutkan. Masyarakat luas sudah lama menanti langkah berani KPK ini. Pasalnya nama Setnov telah disebut berulang-ulang oleh sejumlah saksi dalam persidangan e-KTP. Sejak kasus e-KTP diendus oleh KPK pada tahun 2013 lalu, namanya sudah muncul. Adalah Muhammad Nazaruddin yang menyebut keterlibatan Setnov dalam kasus e-KTP pertama kalinya. Nazaruddin menegaskan, Setnov bersama Anas Urbaningrum merupakan otak dibalik sekandal besar tersebut.
Keberanian KPK menekuk dan menjerat Setnov sebagai tersangka layak diapresiasi. Ini menjadi jawaban atas keraguan sebagian masyarakat bahwa penegakan hukum di Indonesia masih tebang pilih. Penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan serta Kepolisian tak hanya membidik mereka yang dianggap sebagai kaum oposan, yang bersebrangan dengan Pemerintahan Jokowi-JK seperti HT, HRS dan lainya. Terhadap Ketua DPR sekalipun (walaupun Golkar bagian dari koalisi Pemerintahan) hukum tetap ditegakan. Kasus Setnov membuktikan bahwa fakta-fakta hukum di persidangan menjadi dasar utama sebuah keputusan hukum yang diambil para penegak hukum seperti KPK. Tak ada tendensi politik apapun.
Menanggapi penetapan dirinya sebagai tersangka, Setnov membantah keterlibatannya.  Yang bersangkutan tak mengakui  menerima uang ratusan miliar dari pengusaha Andi Narogong. Selain itu, Ketua DPR RI yang dikenal sangat licin dalam urusan hukum tersebut meminta kepada semua pihak untuk tidak membesar-besarkan tuduhan pada  dirinya. Lebih jauh, dengan  rasa percaya diri Setnov tak bergeming dari kursi ketua DPR RI. Statusnya sebagai tersangka dalam kasus mega proyek e-KTP tak membuat dirinya merasa malu memimpin lembaga terhormat, tempat wakil rakyat menyampaikant aspirasi tersebut. Sedih memang menyaksikannya.
Sikap tak tahu malu di atas juga didukung oleh semua unsur pemimpin di DPR. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat mempertahankan Setya Novanto menduduki kursi ketua, meskipun tengah menyandang status tersangka. Keputusan mempertahankan Setya Novanto diambil dalam rapat pimpinan yang diikuti Novanto, dengan para Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Fahri Hamzah, Agus Hermanto, dan Taufik Kurniawan.
Dalam konfrensi pers, Fadli Zon menegaskan tidak ada perubahan komposisi konfigurasi kepemimpin di DPR. Setya Novanto, lanjut Fadli, akan tetap menjadi ketua, kecuali ada perubahan keputusan dari Partai Golkar yang mengusungnya. Kedudukan Novanto masih sebagai Ketua DPR RI disebut merujuk pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3).Â
Keputusan pimpinan DPR pun diterima oleh semua Fraksi, seluruh anggota. Terbukti tak ada upaya perlawanan dari mereka. Jangan tanya, Â bagaimana Partai Golkar? Partai Golkar tentu lebih dari itu. Mereka bertekad secara bulat guna membela Ketua umumnya. Parta Golkar sudah berpengalaman dalam soal ini. Anda pasti ingat bagaiman dulu mereka mempertahankan Akbar Tanjung.
Terkait tidak adanya rasa malu  pada diri para koruptor, saya teringat dengan sebuah tulisan Budiman Hakim di Kompasiana.com. Mengutip ungkapan Pepeng, komedian yang ngetop saat membawakan kuis jari-jari bahwa sebutan koruptor itu keren. Dengan mengenakan rompi merah muda dan dalam sorotan begitu banyak lampu kamera, mereka tersenyum melambai-lambaikan tangan ke segala arah seakan mereka artis Hollywood yang baru saja menerima hadiah Oscar.Â
Sumpah, kelakuan mereka tak masuk akal. Sebab itu, Pepeng mengusulkan sebutan koruptor diganti dengan maling saja seperti sebutan bagi yang mencuri lainnya. Bukankah koruptor adalah maling uang negara? Bukankah mereka merampok uang rakyat?
Etika Politik
Secara hukum formal, apa yang dipertahankan oleh Setnov memang sah. Tak ada yang dilanggar. Dalam perkara hukum, status tersangka tak mewajibkan seseorang politisi melepaskan sebuah jabatan. Hanya, secara moral dan etika politik tentu itu tak patut. Berpolitik itu sepantasnya disamping menjungjung tinngi dan menaati aturan hukum juga mematuhi norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.Â