Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setnov dan Etika Politik

22 Juli 2017   10:51 Diperbarui: 22 Juli 2017   11:15 2856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus mega korupsi KTP elektronik memasuki babak baru. KPK akhirnya menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka. Keputusan tersebut diambil penyidik KPK setelah fakta-fakta persidangan menunjukkan bukti-bukti yang cukup kuat untuk menjeratnya. Setya tidak lagi berdaya untuk menghindar dari kasus yang diduga telah merugikan uang negara sebanyak Rp 2,3 triliun tersebut.

Bagi publik penetapan Setnov sebenarnya tidak  mengejutkan. Masyarakat luas sudah lama menanti langkah berani KPK ini. Pasalnya nama Setnov telah disebut berulang-ulang oleh sejumlah saksi dalam persidangan e-KTP. Sejak kasus e-KTP diendus oleh KPK pada tahun 2013 lalu, namanya sudah muncul. Adalah Muhammad Nazaruddin yang menyebut keterlibatan Setnov dalam kasus e-KTP pertama kalinya. Nazaruddin menegaskan, Setnov bersama Anas Urbaningrum merupakan otak dibalik sekandal besar tersebut.

Keberanian KPK menekuk dan menjerat Setnov sebagai tersangka layak diapresiasi. Ini menjadi jawaban atas keraguan sebagian masyarakat bahwa penegakan hukum di Indonesia masih tebang pilih. Penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan serta Kepolisian tak hanya membidik mereka yang dianggap sebagai kaum oposan, yang bersebrangan dengan Pemerintahan Jokowi-JK seperti HT, HRS dan lainya. Terhadap Ketua DPR sekalipun (walaupun Golkar bagian dari koalisi Pemerintahan) hukum tetap ditegakan. Kasus Setnov membuktikan bahwa fakta-fakta hukum di persidangan menjadi dasar utama sebuah keputusan hukum yang diambil para penegak hukum seperti KPK. Tak ada tendensi politik apapun.

Menanggapi penetapan dirinya sebagai tersangka, Setnov membantah keterlibatannya.  Yang bersangkutan tak mengakui  menerima uang ratusan miliar dari pengusaha Andi Narogong. Selain itu, Ketua DPR RI yang dikenal sangat licin dalam urusan hukum tersebut meminta kepada semua pihak untuk tidak membesar-besarkan tuduhan pada  dirinya. Lebih jauh, dengan  rasa percaya diri Setnov tak bergeming dari kursi ketua DPR RI. Statusnya sebagai tersangka dalam kasus mega proyek e-KTP tak membuat dirinya merasa malu memimpin lembaga terhormat, tempat wakil rakyat menyampaikant aspirasi tersebut. Sedih memang menyaksikannya.

Sikap tak tahu malu di atas juga didukung oleh semua unsur pemimpin di DPR. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat mempertahankan Setya Novanto menduduki kursi ketua, meskipun tengah menyandang status tersangka. Keputusan mempertahankan Setya Novanto diambil dalam rapat pimpinan yang diikuti Novanto, dengan para Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Fahri Hamzah, Agus Hermanto, dan Taufik Kurniawan.

Dalam konfrensi pers, Fadli Zon menegaskan tidak ada perubahan komposisi konfigurasi kepemimpin di DPR. Setya Novanto, lanjut Fadli, akan tetap menjadi ketua, kecuali ada perubahan keputusan dari Partai Golkar yang mengusungnya. Kedudukan Novanto masih sebagai Ketua DPR RI disebut merujuk pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). 

Keputusan pimpinan DPR pun diterima oleh semua Fraksi, seluruh anggota. Terbukti tak ada upaya perlawanan dari mereka. Jangan tanya,  bagaimana Partai Golkar? Partai Golkar tentu lebih dari itu. Mereka bertekad secara bulat guna membela Ketua umumnya. Parta Golkar sudah berpengalaman dalam soal ini. Anda pasti ingat bagaiman dulu mereka mempertahankan Akbar Tanjung.

Terkait tidak adanya rasa malu  pada diri para koruptor, saya teringat dengan sebuah tulisan Budiman Hakim di Kompasiana.com. Mengutip ungkapan Pepeng, komedian yang ngetop saat membawakan kuis jari-jari bahwa sebutan koruptor itu keren. Dengan mengenakan rompi merah muda dan dalam sorotan begitu banyak lampu kamera, mereka tersenyum melambai-lambaikan tangan ke segala arah seakan mereka artis Hollywood yang baru saja menerima hadiah Oscar. 

Sumpah, kelakuan mereka tak masuk akal. Sebab itu, Pepeng mengusulkan sebutan koruptor diganti dengan maling saja seperti sebutan bagi yang mencuri lainnya. Bukankah koruptor adalah maling uang negara? Bukankah mereka merampok uang rakyat?

Etika Politik

Secara hukum formal, apa yang dipertahankan oleh Setnov memang sah. Tak ada yang dilanggar. Dalam perkara hukum, status tersangka tak mewajibkan seseorang politisi melepaskan sebuah jabatan. Hanya, secara moral dan etika politik tentu itu tak patut. Berpolitik itu sepantasnya disamping menjungjung tinngi dan menaati aturan hukum juga mematuhi norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. 

Kepatuhan kepada norma dan etika memang sangat bergantung kepada kesadaran pribadi sang politikus. Di sinilah etika berpolitik seseorang akan dinilai, dipertaruhkan. Secara umum saya melihat politisi di Indonesia (apa pun partainya) telah gagal memberi keteladanan dalam hal ini. Sedikit dari mereka yang memperhatikan etika dan moral dalam berpolitik.

Berbeda dengan apa yang kita dengar di negara lain. Di Jepang misalnya, walau budaya hararki atau memotong perut sendiri sudah nyaris hilang, tapi spirit untuk malu ketika gagal atau melakukan kesalahan tetap tertanam hingga sekarang. Karena itu, suatu hal yang lumrah di Negeri Matahari Terbit jika pejabat yang gagal menjalankan tugas, tersangkut kasus hukum atau dianggap melangar norma dan etika mereka mengundurkan diri. Tidak hanya di Jepang, di negara yang menjunjung tinggi integritas kerja, pejabat mundur juga merupakan kelaziman.

Menurut  Asma Nadia, di Indonesia, mundur hampir selalu menjadi pilihan terakhir. Banyak yang kalaupun akhirnya mundur bukan karena kesadaran diri, melainkan dipaksa atas status tersangka. Begitu pun masih ada yang berusaha berkelit agar tidak mundur.

Banyak juga yang mundur karena tahu bahwa mereka tidak akan menang. Daripada kalah lebih parah, lebih baik memilih mundur duluan. Bukan sebuah bentuk kesadaran, melainkan meminimalkan risiko. Sementara, di beberapa negara, banyak pejabat publik yang mundur dipicu masalah kecil. 

Sebut saja Jerman. Perdana menteri mundur karena tersangkut skandal kredit rumah berbunga ringan yang didapat dari keluarga pengusaha--mendapat diskon khusus ketika membeli rumah. Sementara, di negeri ini, pejabat yang mengumpulkan puluhan rumah dari 'hadiah' pun masih duduk tenang dan bisa pergi ke kantor memakai mobil dinas dengan wajah tanpa rasa bersalah. (http://www.republika.co.id)

Singkat kata, dalam Wikipidia.org, etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia, atau cabang filsafat yang membahasa prinsip-prinsip moralitas politik. Etika politik sebagai ilmu dan cabang filsafat lahir di Yunani pada saat struktur-struktur politik tradisional mulai ambruk. 

Dalam prakteknya, secara sederhana dipahami bahwa dalam berpolitik nilai etika, moralitas sepantasnya dijungjung tinggi. Maka kepada Ketua DPR RI, Setya Novanto, saya kira sangat terpuji jika anda mengundurkan diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun