“Udin!”
“Bukan! Gue lebih Udin dari si Udin.” Diiringi tawa kecil Udin.
Rindu meletup, mendengar guyon di awal pertemuan. Ia menyambut kedatangan Udin dengan wajah berseri—lupa dengan masalah yang sempat menguras air matanya. Sudah hampir lima tahun, Bedi tidak bertemu dengan Udin. Terakhir kali kedua mantan bocah itu bertemu, pada saat acara reuni SD Angkatan 90.
Bedi mengawali perbincangan dengan bertanya kabar Udin. Tidak lama, perbincangan mereka diwarnai gelak tawa, saat Udin membahas masa-masa tidak mengenakkan yang menimpa Bedi 27 tahun lalu. Tepatnya terjadi setiap hari senin dan rabu pagi—jadwal mata pelajaran Bahasa Indonesia. Nama Bedi menjadi populer berkat pelesetan yang di buat teman sekelasnya. Di mana, saat itu guru menyuruh mereka mengulangi ejaan kalimat “Ini Budi”, dan diubah menjadi “Ini Bedi”
******
Mesin motor yang mulai memanas, sudah dimatikan empunya. Suasana halaman rumah Bedi seketika menjadi senyap. Begitupun tawa dari kedua mantan bocah, yang perlahan-lahan mulai lenyap. Kali ini, wajah mereka begitu serius. Saat Udin mulai mengenalkan anak lelakinya yang baru didaftarkan ke pesantren. Budi yang sempat mengira temannya itu sengaja meledek. Dibuat tercengang, setelah mendengar pengakuan Udin yang sejak lama mengidolakannya.
“Bed! Gue baru daftarin anak ke pondok pesantren. Anak laki gue itu namanya Budi. Gue pengen, tuh anak bisa punya sifat kaya lu.”
“Maksdunya? Kok Budi! Jangan becanda, Din”
“Iya, Budi. Budi kan artinya akhlak. Nah, karena dari dulu lu terkenal baik, sopan, sabar, suka menolong juga. Makanya, pas bini gue bunting. Gue keinget lu. Ya…gue namain aja Budi. Soalnya kalo gue namain Bedi. Ntar, lu punya saingan.”
Alasan Udin menamai anak lelakinya, Budi. Membuat Bedi teringat sebuah petuah, dari seorang Ustad di acara pernikahannya dengan Rukayah. Ustad yang amat disegani masyarakat itu, tidak lain temannya sendiri, Udin.
“Nama adalah doa. Berikanlah nama yang baik-baik pada buah hati mu kelak.”