Mohon tunggu...
Amir Mahmud Hatami
Amir Mahmud Hatami Mohon Tunggu... Lainnya - Aku Berpikir, Maka Aku Kepikiran

Menemukan sebelah sepatu kaca di jalanan. Siapa tahu, salah satu dari kalian kehilangan!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ini Budi

2 Januari 2021   17:20 Diperbarui: 2 Januari 2021   17:29 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diunggah dari Nitiranto-Pinterest 

Suara Ustad Udin yang menyeru orang-orang untuk melaksanakan jihad di waktu subuh. Masih ampuh membangunkan Bedi beserta Rukayah istrinya dari tidur pulas semalaman. Pasangan kekasih yang dikaruniai dua orang buah hati itu, selalu mengawali hari dengan beribadah. Udara nan sejuk dengan situasi sunyi khas fajar. Memberi mereka kesempatan untuk larut dalam kekhusyuan.

Sebagai pemimpin praktik setor muka menghadap sang khalik. Gerakan badan sampai lantunan surah-surah pendek yang keluar dari mulut Bedi, selalu mendahului Rukayah istrinya dan kedua anaknya. Tidak ada yang berubah, semua sesuai dengan pedoman fikih. Namun, kini wajahnya memelas; sedu sedan mengiringi doa demi doa—merayu-rayu tuhan agar dikasihani.                     

“Wahai engkau yang maha segalanya. Apakah engkau tega? Membiarkan orang tua seperti ku mati membawa beban. Tolong! Bebaskan aku sebelum lempung memendam jasad ini.”

Istri beserta kedua anaknya yang tidak mengerti maksud dari doa tersebut. Hanya menebak-nebak dalam benak, sembari menjawab “Amin”. Seusai doa, perasaan khawatir mereka seketika memuncak. Saat mengetahui Bedi sujud dengan gelimang air mata.

Melihat suami yang dikenalnya tukang guyon itu larut dalam kesedihan. Membuat Rukayah memberanikan diri menggantikan posisinya. Ia telungkup di samping wajah Bedi, sembari menatapnya dengan penuh kasih. Persis seperti yang sering dilakukan Bedi, ketika Rukayah dan anaknya kedapatan sedang merajuk. Meskipun, Bedi belum pernah melakukan seperti halnya Rukayah—posisi badan telungkup.  

“Pak, jidatnya kena lem, ya? Sini, ibu bantu!”

Bibir Budi perlahan mulai melebar. Badan yang sempat diam tidak bergerak, kini agak sedikit bergetar. Pertanyaan itu berhasil mengocok perut, sampai membuyarkan kekhusyuannya.

Perlahan-lahan Bedi mulai mengangkat kepalanya dari lantai. Mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk bersila. Kedua anaknya seketika datang memberi dekapan. Sekaligus meyakinkan sang ayah bahwa doa-doanya akan segera terkabul. Disamping itu, Rukayah yang beruntung atas jeda waktu tersebut. Lantas, memikirkan pertanyaan yang lebih serius mengenai keadaan suaminya.

******

Jarum jam mulai tampak tegak sempurna. Waktu untuk kedua anaknya bersiap sebelum pergi menuju sekolah. Cahaya lampu rumah satu per-satu mulai redup. Ceret berisi teh tubruk kembali menghiasi meja. Koran pagi tergeletak di lantai halaman rumah, belum terjamah tangan Bedi.

Rukayah mendapat gilirannya. Ia mengajak Bedi duduk-duduk di ruang tamu. Tempat yang menurutnya paling nyaman untuk mengobrol. Kekhawatirannya di awal, dikalahkan oleh rasa penasaran. Ia mencecar suaminya dengan pertanyaan yang terstruktur, bak dosen pembimbing skripsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun