Mohon tunggu...
Amir Mahmud Hatami
Amir Mahmud Hatami Mohon Tunggu... Lainnya - Aku Berpikir, Maka Aku Kepikiran

Menemukan sebelah sepatu kaca di jalanan. Siapa tahu, salah satu dari kalian kehilangan!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ini Budi

2 Januari 2021   17:20 Diperbarui: 2 Januari 2021   17:29 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diunggah dari Nitiranto-Pinterest 

“Ibu mau tahu! Apa yang membebani bapak?”

“Budi, bu.”

“Budi siapa, pak? Ibu gak kenal.”

“Itu masalahnya, bu. Bapak tidak dapat bertanya lagi tentang Budi ke si penciptanya.”

“Tuhan, pak?”

Tatapan kosong Bedi seketika menghentikan pembicaraan. Seperti sedang mencari cara agar Rukayah tidak melanjutkan pertanyaan.

Melihat gelagat aneh Bedi, memaksa Rukayah mengambil sikap tegas. Ia tidak ingin membiarkan suaminya berlama-lama bermain dengan teka-teki. Layaknya adegan opera sabun. Tanpa pikir panjang, Rukayah mengambil kedua tangan Budi, dan langsung menggoyang-goyangkannya. Sembari membujuk, agar mau melibatkannya ke dalam kekisruhan yang tidak kunjung usai.

Bedi yang tengah termenung, seketika tersadar dibuatnya. Rukayah menuai hasil. Bedi bercerita mengenai kesedihan yang sedang dialami. Suaminya itu mengaku lupa menanyakan alasan lain Rahmi, saat memberi nama Budi—selain alasan utamanya, yakni representasi identitas bangsa Indonesia. Mendengar nama Rahmi, Rukayah sempat manampakkan wajah cemburu. Namun, tidak berlangsung lama. Bedi memberitahu tentang sosok Rahmi. Juga, jasa besarnya berupa metode baca yang membuat ia dan istrinya, dan bahkan semua siswa SD angkatan 90-an dapat membaca.

Perbincangan yang berlangsung hampir satu jam lebih itu, terpaksa berakhir. Kedua anaknya tiba-tiba datang menghampiri, sekedar menjaga tradisi cium tangan. Berhubung Rukayah tidak sempat membuat bekal makanan, maka uang saku mereka ditambah. Rumah kecil mereka sudah merindukan sentuhan lembut dari tangan Rukayah. Begitu pun Bedi, yang harus menjalankan tanggung jawabnya sebagai dosen.

******

Langit pagi tampak cerah. Seakan merestui dimulainya segala hiruk pikuk yang kerap terjadi di kota metropolitan. Suara mesin motor Bedi yang terparkir di depan halaman rumah, selalu ikut meramaikan suasana. Empunya motor menikmati nada yang keluar dari kenalpot, sembari membaca surat kabar harian. Air yang tercampur daun teh, mengalir secara perlahan di kerongkongannya.   

Belum sempat menuntaskan satu kolom, Bedi sudah dikejutkan oleh suara lelaki yang memanggil namanya. Dari sekian banyak suara yang pernah didengarnya—termasuk suara kenalpot motor. Hanya satu orang yang memiliki suara serak-serak basah. Bibirnya tidak tahan lagi menunggu alam pikiran yang terus menerka. Dengan suara lantang, Bedi lantas menyebutkan satu nama teman sebangkunya semasa SD, dan langsung mendapat balasan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun