"Sulit untuk hanya menonton dari pinggir lapangan, Aku tidak bohong," katanya. Hilman memang baik untuk berinteraksi dengan teman, tetapi dia tidak menganggap mereka sebagai teman. Dia menjelaskan bagaimana teman-temannya kesulitan dan keluar dari persahabatan dan jika dia memiliki satu teman dekat, yang dia lakukan itu sudah cukup.
Sekarang di tahun kedua, Hilman lebih nyaman di sekolah menengah dan nilainya meningkat. Orang tuanya merasa menggunakan laptop untuk pekerjaan rumah sudah membuahkan hasil, karena dia tidak perlu menggunakan banyak energinya untuk mencoba menulis dengan jelas dan dapat lebih berkonsentrasi pada isi dari tugasnya.
Orang tuanya berharap Hilman akan memiliki juru tulis, atau pembaca, atau kesempatan untuk mengetik untuk ujian Nasional yang akan dihadap anaknya. Sementara itu, mereka terus berusaha meningkatkan harga diri Hilman, membantunya menyadari betapa pintar dirinya.
Ingat bahwasannya tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak yang sedang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Kita sebagai orang tua harus tetap mendampingi, memberikannya batuan dan dorongan yang membuat dia bisa tetap semangat. Membuat anak tetap merasa, bahwa keberadaan mereka tetap dibutuhkan.
Sekali lagi perlu diingat bahwa kelemahan seseorang tidak menjadi satu-satunya faktor yang membuat seseorang mengalami kegagalan. Jika memang begitu, bagaimana dengan orang-orang yang berhasil tapi faktanya mereka juga memiliki kelemahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H