Mohon tunggu...
Amiratun NadiyahAdimy
Amiratun NadiyahAdimy Mohon Tunggu... Lainnya - Semoga bisa bermanfaat :)

Ikuti prosesnya insyaallah hasil akan mengikuti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dypraxia: Bukan Anak Bodoh, Mereka Hanya Perlu Waktu yang Lebih Lama

7 Desember 2020   09:51 Diperbarui: 7 Desember 2020   10:05 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu ketika seorang guru masuk ke dalam kelas, kemudian memberi perintah kepada siswa untuk mengambil buku teks tertentu, membuka halaman tertentu dan mulai menuliskan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di buku tersebut.

Ini mungkin terdengar seperti perintah sederhana, kebanyakan sekolah di Indonesia pun menggunakan sistem tersebut. Tetapi ini tidak berlaku untuk salah seorang remaja, sebut saja dia Hilman (13), menurutnya perintah itu merupakan perintah yang sangat sulit untuk diikuti.

Ibunya menjeaskan bahwasannya, ketika teman-temannya sudah berada di tahap pengerjaan tugas, anaknya masih pada tahap menyiapkan buku yang harus dikerjakan dan masih kebingungan mencari-cari halaman mana yang menjadi tugasnya.

Bukan karena dia bodoh, atau dia tidak mendengarkan, tetapi Hilman memiliki disabilitas disabilitas yang tidak tampak atau tersembunyi. Disabilitas ini memengaruhi keterampilan motorik kasar dan halus, serta perencanaan dan pengorganisasian kemampuan, semua pada tingkat yang lebih rendah atau lebih besar. Ini tergantung pada cara otak memproses informasi - ia "bagaimana dia mengambil sudut pandang", begitulah cara orang dewasa menggambarkan kondisi tersebut.

Ada juga yang secara blak-blakan menyebut "sindrom anak kikuk". Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwasannya hal itu mengganggu koordinasi fisik, sebenarnya ini adalah kondisi seumur hidup dan juga cenderung menyebabkan masalah pemrosesan sensorik. Anak-anak ini mengalami tanda-tanda awal seperti tahap merengkak yang terlewati, keterlambatan bicara dan bahasa, lambat dalam berpakaian, ketidakmampuan untuk tetap diam, tulisan tangan yang hampir tidak terbaca, tidak dapat mengikat tali sepatu dan konsentrasi yang buruk.

Satu kejadian masa kecil sebelum Hilman didiagnosis memiliki disabilitas yang muncul di benak ibunya. Beliau bertanya kepada Hilman untuk menyimpan susu kaleng itu. Hilman pun berkata, "Tentu, mau diletakkan dimana?" Saat Ibunya berkata kepada Hilman untuk menyimpan susu kaleng tersebut di dalam kulkas. Ibunya heran bagaimana hal yang biasa seperti itu tidak disadari oleh Hilman.

Ibunya mulau mencari Terapis dan menceritakan kejadian apa yang membuatnya yakin anaknya sedang tidak baik-baik saja. "Hilman tidak tahu di mana letak barang-barang disimpan."

Hilman, anak pertama dari dua bersaudara, duduk di kelas satu di sekolah dasar. Suatu ketika guru hilman menanyakan kepada ibunya, apakah beliau tau bahwa Hilman memiliki kesulitan. Ibunya berkata dia tahu anaknya mengalami kesulitan dengan angka dan memiliki masalah dalam mengurutkan. Tetapi guru menjelaskan bahswa menurutya lebih dari itu, dan berpikir bahwa Hilman mengalami Disleksia.

Kemudian, ibunya membawa Hilman ke dokter umum mereka yang merujuknya ke terapis okupasi untuk melakukan assesmen bersama dengan psikolog pendidikan. Mereka melakukan ini secara pribadi karena antrian "terlalu panjang".

Ibunya menyadari bahwa pengetahuannya tentang Dispraxia rendah, kalaupun tahu ibunya juga tidak memahaminya. Itulah mengapa perlu adanya pemahaman tentang dispraxia, terutama di kalangan profesional pendidikan dan kesehatan.

Diagnosis dispraxia Hilman ditemukan bahwa pembelajaran audionya berada dalam kisaran "supremasi" tetapi pembelajaran tertulis dan visualnya berada di persentil pertama.

"Memang sudah begini adanya. Bukan hanya karena dia anak yang canggung, atau dia orang yang sulit, atau itu hanya fase yang dia lalui. Aku merasa kasihan karena anakku tidak bisa memahaminya, "kata ibunya.

Sejak saat itu, orang tua Hilman berusaha melakukan apa yang mereka bisa untuk mendukungnya baik secara praktis maupun psikologis untuk mengatasi kesulitan- kesulitan tambahan yang Hilman hadapi dalam kehidupan sehari-hari, dari waktu di pagi hari dengan mandi dan berpakaian, hingga tugas sekolah, hingga bersosialisasi. Hal-hal seperti materi pembelajaran audio yang menjadi kekuatannya, saat mengerjakan pekerjaan rumah. Di rumah orang tuanya juga mengurangi tekanan pekerjaan rumah.

"Tetapi masalah mendasar yang besar yaitu tdak memiliki teman di sekolah. Dia pria yang luar biasa, mudah bergaul, dan ceria, tetapi dia tidak tahu di mana batasannya dalam hal teman. Sehingga dia akan selalu mengganggu dan kehilangan isyarat sosial. "

Sementara ibunya bisa berteman dengan ibu-ibu lain dan mengundang anak-anaknya untuk main ke rumah, dia tahu itu semua akan berubah di sekolah menengah. Tidak lama sebelum transisi ini, dia memutuskan waktu yang tepat untuk memberinya nama mengapa dia merasa begitu sulit untuk melakukan banyak hal yang dapat dilakukan teman-temannya dengan mudah.

"Ini bukan karena Hilman bodoh dan itu bukan karena Hilman tidak dapat melakukannya, itu karena Hilman berbeda dalam memproses dan terkadang dibutuhkan waktu lebih lama bagi otak Hilman untuk terhubung dan memberi Hilman keahlian untuk melakukannya dengan cara yang lain." Ibunya menjelaskan saat mereka duduk berdua di tangga rumah. Itu membantu karena Himan adalah penggemar Harry Potter dan aktor Daniel Radcliffe berbicara tentang bagaimana dia menderita dispraxia.

Hilman tidak melihat hal tersebut sebagai kelemahan atau hal yang negatif, orang tuanya pun juga selalu bahwa bukan itu jalan keluarnya.

"Kamu bisa melakukannya, tapi kamu akan membutuhkan sedikit lebih banyak dukungan untuk melakukannya," begitulah kata ibunya.

Ornag tuanya memilih sekolah swasta untuk Hilman karena menurut orang tuanya program di sekolah tersebut bisa membantu Hilman tetap belajar dengan dispraxianya. Orang tuanya juga terkesan bahwa kepala sekolah di sana yang pertama kali bertanya bagaimana Hilman mengalami dispraxia dan apa yang dapat sekolah lakukan untuknya.

Sekolah mengadakan koordinator dukungan pembelajaran yang mengundang kedua orang tuanga dua kali sebelum awal tahun. Kepala sekolah memberinya peta sekolah, mengantarnya melewati gedung dan memberinya loker teratas di ujung barisan untuk memberinya ruang ekstra.

Orang tua Hilman mendapatkan jadwal pembelajaran lebih awal dan mengkoordinasikannya dengan warna - warna yang berbeda untuk setiap subjek, juga mewarnai buku-buku dan meletakkannya di folder yang berbeda dengan stiker berwarna yang serasi. "Itu membantunya kembali ke dasar sehingga dia bisa memutarnya dengan cepat."

Hilman membutuhkan waktu beberapa saat untuk menginjakkan kakinya di sekolah baru dan Ibunya harus sering mengingatkan pada awalnya untuk membantu mengingat hal-hal yang telah dia lupakan. Menjaga, bukan berteman, terus menjadi tantangan. Dulu isang ibu membawanya ke klub sepulang sekolah, sekarang dia harus mengurus dirinya sendiri.

"Sulit untuk hanya menonton dari pinggir lapangan, Aku tidak bohong," katanya. Hilman memang baik untuk berinteraksi dengan teman, tetapi dia tidak menganggap mereka sebagai teman. Dia menjelaskan bagaimana teman-temannya kesulitan dan keluar dari persahabatan dan jika dia memiliki satu teman dekat, yang dia lakukan itu sudah cukup.

Sekarang di tahun kedua, Hilman lebih nyaman di sekolah menengah dan nilainya meningkat. Orang tuanya merasa menggunakan laptop untuk pekerjaan rumah sudah membuahkan hasil, karena dia tidak perlu menggunakan banyak energinya untuk mencoba menulis dengan jelas dan dapat lebih berkonsentrasi pada isi dari tugasnya.

Orang tuanya berharap Hilman akan memiliki juru tulis, atau pembaca, atau kesempatan untuk mengetik untuk ujian Nasional yang akan dihadap anaknya. Sementara itu, mereka terus berusaha meningkatkan harga diri Hilman, membantunya menyadari betapa pintar dirinya.

Ingat bahwasannya tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak yang sedang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Kita sebagai orang tua harus tetap mendampingi, memberikannya batuan dan dorongan yang membuat dia bisa tetap semangat. Membuat anak tetap merasa, bahwa keberadaan mereka tetap dibutuhkan.

Sekali lagi perlu diingat bahwa kelemahan seseorang tidak menjadi satu-satunya faktor yang membuat seseorang mengalami kegagalan. Jika memang begitu, bagaimana dengan orang-orang yang berhasil tapi faktanya mereka juga memiliki kelemahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun